Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Kamis, 31 Juli 2014

Mukjizat




Kita sering mendengar khususnya dari para agamawan, kejadian atau pembahasan mengenai peristiwa yang berkaitan dengan mukjizat. Dalam setiap kitab suci khususnya agama samawi, selalu terselip kisah tentang mukjizat yang menjadi penekanan pada bukti ketuhanan sang pemilik kitab. Mukjizat juga banyak di gunakan sebagai bukti kebenaran sebuah ajaran, agama atau nabi yang membawa risalahNya.

Kisah tongkat yang dapat membelah lautan luas dalam sekejap, menghidupkan orang mati, tidur selama tiga abad lebih, adalah sekelumit dari kisah-kisah yang menceritakan keajaiban mukjizat dalam sejarah peradaban manusia.

Dalam pembahasan ini kita tidak akan berusaha untuk membuktikan mukjizat secara ilmiah, dalam arti bukti matematis, kimiawi, fisika dari berbagai kejadian peristiwa mukjizat. Tetapi kita dapat menambal kekurangan itu, yang mudah-mudahan kedepan dapat dilakukan, dengan berusaha untuk meberikan sedikit gambaran utuh, serta dalil-dalil rasional (burhani) dari konsep atau peristiwa mukjizat. Paling tidak memberikan argument bahwa mukjizat bukanlah sesuatu yang mustahil untuk terjadi dialam natural ini.

Mukjizat secara etimologi adalah serapan dari bahasa arab mu’jizah, asal kata I’jah,derivate dari kata a-ja-za yang artinya ketidak sanggupan, kelemahan, akhir segala sesuatu (Ibnu Faris, Maqayis Al Lughoh). Secara istilah mukjizat adalah tindakan dasyat dan gejala diluar kelaziman, sekalipun bertentangan dengan hokum kebiasaan natural, dilakukan para utusan Allah untuk membuktikan kebiasaan klaim kenabian dan risalah ilahi (Muhammad Baqiri saidi Rousyan, 2012).

Singkatnya mukjizat adalah peristiwa luar biasa di alam materi. Namun sekalipun dikategorisasikan sebagai peristiwa luar biasa ada perbedaan mendasar dan menjadi ciri-ciri khusus antara, peristiwa luar biasa mukjizat dan yang bukan mukjizat seperti, sihir, magic, pemanggilan arwah dan sejenisnya. Perbedaanya adalah sebagai berikut (Saidi Rusyan, 2012) :

1.     Tujuan
Tujuan mukjizat tidak lain dalam rangka memberi petunjuk dan membimbing manusia kearah tuhan yang maha kuasa, sedangkan perdukunan, sihir, magic adalah tindakan luar biasa untuk kepentingan temporal duniawi.
2.     Skala Jangkauan
Skala jangkauan mukjizat lebih luas tidak menggunakan alat, angka, dan tidak dapat diajarkan kepada siapapun, dan tidak dapat diperoleh dengan jalan apapun, baik melalui pendidikan atau riyadhah oleh para sufi. Berkebalikan dengan tindakan luar biasa seperti sihir, magic dan sejenisnya dapat diperoleh melalui pembelajaran dan pertapaan.
3.     Bersandar pada supranatural (adikodrati)
Dalam hal ini, mukjizat tidak tertandingi dan tidak terbatas berbeda dengan tindakan luar biasa lainya, berlaku pepatah diatas langit ada langit.
4.      Perilaku hidup pelaku
Pelaku mukjizat adalah khusus para nabi utusan tuhan, bernaluri bersih, latar belakan cemerlang,  suci, dan unggul sevara moral. Berbeda dengan pelaku tindakan luar biasa lainya kadang memiliki sederet perilaku aneh dan buruk.
5.     Instrumen dan sarana
Mukjizat dilakukan oleh para nabi untuk kepentingan luhur dan mulia, untuk menampakan ketinggian dan kemulian insani manusia, tidak ada dokumen dan fakta sejarah bahwa para nabi adalah para penipu, sebagaimana banyak kisah dukun cabul, penipu dan sifat buruk lainya. Demikian perbedaan antara tindakan atau peristiwa luar biasa mukjizat dan bukan.

Dewasa ini banyak yang meragukan kevalidan peristiwa atau tindakan-tindakan yang mengandung mukjizat yang diperagakan oleh para nabi Allah. Utamanya pandangan negative itu keluar dari mulut kaum empirical yang menyangkal peristiwa-peristiwa non empirical seperti mukjizat.

Pertanyaan awal yang mesti dijawab adalah, apakah manusia dapat memiliki kemampuan, untuk melakukan tindakan luar biasa yang keluar dan bertentangan dengan hukum-hukum material alam semesta. Jawabannya tentu saja ya. Karena telah banyak kita menyaksikan, kemampuan telepati, magic, pemanggilan arwah atau peristiwa luar biasa lainya. Artinya potensi manusia, dapat memungkinkan melakukan tindakan-tindakan luar biasa tergantung sejauh mana tingkatannya. Olehnya itu manusia atau para nabi dapat melakukan mukjizat dengan asumsi positif  bahwa kemampuan mereka lebih tinggi dari hanya sebatas ahli magic, telepati dan pemanggil arwah. 

Beberapa ahli dan ilmuwan barat pun telah melakukan penelitian ilmiah tentang kesanggupan manusia dalam melakukan tindakan luar biasa atau melanggar hokum alam materi. Seperti Champollion, seorang pakar dari Perancis, pada tahun 1820 mampu berhubungan dengan ruh yang telah mati setelah meneliti teks-teks kuno mesir bersama Max Muller yang membantu menerjemahkan bahasa sansekerta. Leon Dannymengahdirkan arwah dan mampu berdialog langsung di Amerika pada tahun 1848, bahkan pada tahun 1852 kongres Washington mengumumkan penemuan tersebut. Rektor Universitas Birmingham mampu berkomunikasi dengan mendiang putranya, Raymond yang gugur dalam perang. Karena peristiwa tersebut, melahirkan karya Raymond, or Life and death. Tentu kisah-kisah lain masih banyak, namun cukup kiranya contoh-contoh diatas. 

Sebagai penutup mukjizat secara ilmiah tidaklah mustahil, dan sangat memungkinkan untuk terjadi . beberapa kisah Mukjizat seperti tenggelamnya pasukan Firaun dilaut merah akibat terbelahnya laut merah oleh tongkat nabi Musa mulai diteliti dan Seorang Arkeolog bernama Ron Wyat pada tahun 1988 berhasil menemukan roda kereta tempur kuno di dasar laut merah, yang diduga kuat milik pasukan Firaun.

(Gambar roda yang diduga kuat milik balatentara Firaun, Sumber : http://www.cherubimsonline.com)
 
Namun ada hal penting yang belum dijelaskan disini yaitu konsep Karamah, bagaimana perbedaan karamah dengan mukjizat, adakah yang namanya karamah ?. Inshaa Allah akan di jelaskan pada tulisan-tulisan mendatang.



Referensi :
-          Muhammad Baqiri saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat, sadra press, Jakarta 2012

Rabu, 30 Juli 2014

Menjernihkan konsep stratafikasi masyarakat Buton



Selama ini, sebagian besar pemahaman umum, memahami konsep masyarakat Buton sebagai mengandung diskriminasi dan tatanan yang kurang adil dalam srata sosialnya. Terlebih dihadapan adat istiadat yang telah menjadi norma sosial masyarakat Buton dalam menjalani interaksi sosial.

Masyarakat buton diklasifikasi dalam empat golongan, yang pertama golongan kaomu (bangsawan), walaka, papara dan batua (Schoorl, 2012). Oleh Schoorl sendiri dalam menjelaskan hubungan diantara keempat golongan masyarakat Buton ini mengalami beberapa bias, yang mana pembagian golongan masyarakat Buton ini cenderung dipahami sebagai konsep strata atau kasta sebagaimana yang ada pada masyarakat feodal pada umumnya.

Dalam masyarakat Buton sendiri pembagian golongan masyarakat seperti diatas kadang disejajarkan dengan konsep kelas dalam masyarakat menurut marxisme. Akibatnya pemahaman sempit seperti ini menyebabkan ekses sosial yang besar dan menimbulkan bentuk diskriminasi terhadap sesama masyarakat Buton yang dipandang berbeda golongan.

Awalnya saya pun juga sepakat dengan pembacaan Schoorl terhadap sejarah dan budaya Buton, terkhusus konsep “kasta” dalam masyarakat Buton. Dan kadang perasaaan akan adanya kesesuaianya dengan konsep marxisme membuat saya menggagap budaya Buton sebagai semata-mata produk determinisme sejarah yang cukup eksploitatif dalam pemahaman Marxisme klasik.

Namun dengan usaha gigih melakukan beberapa pencarian dan pengkajian terkait wacana ini melalui berbagai pihak akhirnya perlahan-lahan menyibakan tirai kebenaran. Yaitu secuil pengetahuan akan sejarah dan budaya yang dapat memenuhi dahaga akan pemahaman sesungguhnya terkait konsep masyarakat Buton yang sebenarnya.

Paling tidak penjelasan konsep masyarakat Buton yang seperti akan dipaparkan nanti memiliki kualitas rasional walaupun sedikit. Hal ini tentu saja lebih baik daripada pemahaman umum selama ini yang cukup mendominasi masyarakat Buton sendiri, yang memahami konsep ini tak ubahnya dogma yang harus dijalani tanpa perlu mengetahui sebab-sebabnya. Yang berujung sekali lagi pada diskriminasi.

Penjelasan ini, berawal dari pertemuan singkat saya dengan salah satu tokoh masyarakat dan tokoh adat Buton, yaitu bapak La Ode Alirman, SH. Dimana beliau saat ini menjabat sebagai Lakina Lapandewa dalam lembaga adat Buton. Sebuah pertemuan yang tanpa disengaja tetapi menurut saya sangat bermanfaat terutama bagi saya sendiri, dalam memahami diri saya sebagai masyarakat Buton.

Menurut La Ode Alirman, konsep masyarakat Buton saat ini telah disalah pahami, dan telah bergeser dari hakikat awalnya konsep golongan itu dibentuk. Awalnya pembagian kelompok masyarakat Buton didasari oleh adanya perbedaan kualitas secara intelektual dan spiritual. Intelektual dimaksud adalah kemampuan untuk bekerja atau keterampilan-keterampilan tertentu, seperti bekerja, berperang atau memimpin.

Jadi masyarakat Buton awalnya bukan di dogma bahwa seseorang lahir dan ditakdirkan menjadi seorang kaomu atau papara tetapi pengklasifikasian itu dilakukan sesuai dengan kualitas serta kemampuan individu yang dimiliki oleh seseorang. Dan masuknya seseorang dalam golongan tertentu bukan atas perintah atau aturan tertentu tetapi merupakan hasil penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Saya bisa apa ? atau saya punya kualitas apa ?. hingga seseorang menurut penilaiannya sendiri kemudian memutuskan bahwa dirinya lebih layak menjadi seorang papara karena hanya memiliki keterampilan untuk bekerja, atau memilih menjadi walaka karena memiliki kecerdikan dalam strategi perang, begitu pula dengan kaomu.

Lambat laun, entah karena faktor apa, pemahaman dasar terkait konsep golongan ini bergeser dari makna asalnya. Yaitu menjadi semacam konsep kasta dalam masyarakat feodal. Dan bahkan kemudian muncul istilah batua yang lebih beraroma perbudakan. 

Pergeseran makna ini begitu jauh seiring berjalanya waktu. Lambat laun, konsep ini menjadi hukum besi yang dikukuhkan sebagai salah satu aturan main pemerintahan. Bisa dilihat dari silsilah raja atau sultan yang memerintah di kerajaan Buton. Bahwa pemberian gelar La Ode sebagai tanda gelar kebangsawanaan nanti diadakan pada sultan ke tiga puluh enam. Yang mana sebelumnya gelar ini tidak terdapat langsung pada nama sultan-sultan terdahulu.

Artinya telah terjadi pergeseran budaya, dari budaya yang setara menjadi diksriminatif dan cenderung timpang. Dampak dari pergeseran ini menjalar hingga ke generasi-generasi setelahnya dan sampai pula pada generasi kita sekarang. 

Gelar La Ode atau kebangsawanaan melekat kepada siapa saja yang lahir dari rahim turunan para sultan, tak perduli kualitas individunya, intelektual dan spiritualnya. Gelar ini dengan gampang ditempelkan dan kadang tak dapat dipertanggung jawabkan oleh pemilikinya sendiri. Akibatnya bertebaran bangsawan bodoh, miskin ahlak, rendah kualitas intelektualnya dan beberapa sifat buruk lainya. Tentu tidak semua tetapi juga tidak sedikit La Ode yang seperti itu. 

Karena pelekatan gelar La Ode yang instan ini, maka dengan sendirinya menjadikan gelar ini semakin murah dan tidak bernilai ditengah masyarakat atau berujung pada rendahnya penghayatan budaya serta adat istiadat yang banyak terkandung ahlak mulia didalamnya. Dan dengan sendirinya perlahan-lahan mengubur keagungan budaya masyarakat Buton yang banyak memiliki nilai utama dan sangat relevan dalam dunia sekarang yang semakin gencarnya arus budaya asing yang masuk menyebakan banyak masyarakat kehilangan jati dirinya.

Selasa, 22 Juli 2014

Download Buku Ringkasan Logika Muslim

Dewasa ini kita selalu dituntut untuk menjelaskan segala pengetahuan kita secara rasional dan ilmiah. begitu pula dengan berbagai konsep keagamaan yang kita miliki.untuk melakukan hal tersebut dengan baik, dibutuhkan pijakan akal untuk senantiasa seirama dengan rasionalitas yang menjadi dalil utama diterimanya sebuah konsep atau pengetahuan.



 (Hasan Abu Amar)

Melampaui itu semua Hasan Abu Amar telah mengucurkan keringatnya demi melahirkan sebuah karya untuk bisa digunakan umat Islam dalam mengikat pemahaman keagamaanya dalam bingkai rasionalitas. bukan saja meneruskan budaya ilmiah yang konon lahir dari rahim peradaban barat tetapi juga, mengkritisi, mengevaluasi, dan membangun kembali sebuah cara berpikir ilmiah yang lebih apik dan tak tergoyahkan oleh bentuk pemikiran apapun. oleh karena itu sebagaimana wajib seorang manusia untuk berpikir, dan wajib berpikir yang benar maka penting dan sangat penting bagi siapapun untuk membaca karya Hasan Abu Amar yang berjudul RINGKASAN LOGIKA MUSLIM.

Buku dapat di download gratis :

DOWNLOAD

Selasa, 15 Juli 2014

Download Buku Kebenaran Yang Hilang

Akhir-akhir ini banyak pihak berusaha mengembalikan kejayaan Islam dengan mencoba untuk melakukan duplikasi sejarah. bahwa kemegahan Islam  zaman dahulu adalah merupakan ikhtiar masyarakat Islam melihat kondisi latar belakang sosial, politik, ekonomi yang melingkupinya saat itu.

kini zaman telah berubah, memaknai sejarah islam sebagai fakta historis secara obyektif tanpa melulu romantik adalah kemestian. hingga pembacaan sejarah Islam yang obyktif sangat penting dilakukan, tanpa terjebak ada subyektifitas sebagai pemeluk agama islam sendiri.

Farag Fouda mencoba menampilkan sejarah islam secara utuh walaupun kelam dan pahit untuk di dengarkan, namun komitmenya membuka hijab romantik sejarah islam cukup berhasil dalam bukunya yang berjudul "Kebenaran yang hilang".

anggap saja membagi buku ini adalah usaha membagi sejumut kebenaran. maka bagi siapa saja yang siap membaca sejarah kelam Islam bisa mendownload gratis

Link Download di bawah ini "




DOWNLOAD

Sabtu, 12 Juli 2014

Download Buku Islam Liberal

Membaca pemikiran intelektual Islam modern yang mengintegrasikan konsepsi Ke-islam-an di satu pihak dan Ke-indonesia-an serta ke-moderen-an disisi lain membuat kita teguh dan kukuh menjalankan nilai-nilai universal Islam di zaman globalisasi yang serba ter-rasionalisasi.


Inpirasi agung seperti ini kaya dan dapat diperoleh dengan dengan membaca buku Islam dan Doktrin Peradaban karya Gak Nur, sapaan akrab Nurcholis Madjid.

Buku dapat di Download Gratis di link di bawah ini :

DOWNLOAD

Senin, 07 Juli 2014

La Ode dan Wa Ode, apakah masih relevan ?



(Daftar Nama Sultan Buton di benteng keraton Buton)

Hingga saat ini banyak orang buton mungkin belum bisa memahami dengan baik dari mana sesungguhnya gelar La Ode dan Wa Ode itu berasal, sekalipun dia keturunan La Ode dan Wa Ode itu sendiri.  Hal ini wajar, karena memang sejarah dan budaya Buton itu hingga kini masih banyak yang sengaja disembunyikan, dan hanya kalangan tertentu yang dianggap ‘pantas’ untuk mengetahuinya. Entah dari mana datangnya paradigma sempit seperti itu yang pasti itulah realita yang terjadi.
 
Tetapi disini kita tidak akan membincangkan sejarah dan makna asli dari gelar La ode dan Wa Ode itu, karena memang hingga saat belum ada referensi yang pasti tentang hal tersebut, selain cerita pinggiran yang belum pasti kebenaranya.

Akan tetapi hal yang pasti adalah, pelekatan gelar La Ode dan Wa Ode bagi orang Buton memberikan status sosial tersendiri, terutama dalam hal derajatnya dihadapan adat-istiadat Buton.

La Ode dan Wa Ode adalah satu gelar yang dilekatkan bagi keturunan bangsawan pada masa kesultanan Buton. Ada tiga asal untuk kaum bangsawan Buton atau dalam bahasa Buton disebut kaomu. Yaitu kaomu tanayilandu, tapi-tapi dan kumbewaha. Hanya dari ketiganya inilah yang bisa menjadi sultan Buton pada saat kesultanan dulu. 

Secara umum di kesultanan Buton dahulu membagi masyarakatnya menjadi 4 bagian, yaitu Kaomu, walaka, papara, dan batua (Schoorl, 2012).  Secara hierarki, keempatnya ini memiliki derajat yang berbeda dalam status sosialnya. 

Walaupun banyak yang berapologi bahwa konsep pembagian ‘kelas’ sosial ini tidak berdasarkan derajat (kasta) tetapi berdasarkan pembagian tugas, akan tetapi dalam banyak implementasinya sesungguhnya ini adalah konsep kasta yang terdapat dalam masyarakat Buton.

Pembagian kelas sosial seperti ini tentunya saja melahirkan perbedaan derajat sosial, bahkan kadang dipahami sebagai perbedaan derajat kemanusiaan. Karena dalam implementasinya bagi seorang kaomu (bangsawan) tidak bisa menikah dengan selain sesama kaomu. Dan apabila hal tersebut terjadi, yaitu kaomu, utamanya perempuan kaomu, maka secara otomatis anaknya nanti bukan lagi sebagai kaomu. 

Bukan hanya itu, konsep kelas ini juga berhubungan dengan mahar pada saat pernikahan, bagi seorang kaomu memiliki harga mahar yang lebih tinggi dibanding kasta yang lain. Sekali lagi, entah darimana konsep ini berasal, mengingat hal ini diterapkan dalam adat kesultanan, yang kalau kita melihat sejarah Islam sendiri tidak ada konsep demikian. Seperti dalam pernikahan Imam Ali ra dengan putri Rasulullah SAW, yang berlangsung dengan mahar hanya sebuah baju perang.

Jelas ini bukan konsep islam, dan tidak salah kalau konsep kelas sosial yang diterapkan dalam kesultanan Buton ini dikatakan tidak islami, karena membedakan status sosial masyarakatnya berdasarkan keturunan. Karena, tidak ada yang mampu untuk meilih lahir dari keturunan mana dan berarti membedakan manusia yang satu dan lainya.

Dampak sosial dari penerapan konsep kelas ini sendiri yaitu kaomu dan bukan kaomu masih berlangsung hingga saat ini, bahkan pada beberapa daerah masih dipandang rendah oleh manusia lain, padahal arus globalisasi sudah begitu kencang, tetapi belum juga bisa mengikis habis konsep stratifikasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal ini. Hal ini diakibatkan oleh adanya pembentukan paradigma atau indoktrinasi konsep kelas ini dalam waktu yang sangat lama. Sehingga akan sulit untuk ditanggalkan. 
 
Pertanyaan kemudian, apakah penerapan konsep seperti ini wajar-wajar saja atau malah merugikan. Kalau dikatakan wajar tentu salah besar, tetapi kalau dikatakan merugikan mungkin ada benarnya. Lantas siapa yang dirugikan. Yang paling dirugikan dalam penerapan konsep ini adalah pihak-pihak yang bukan dari kasta kaomu tersebut. Dimana, sebagian nilai-nilai kemanusiaan mereka telah dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak tertentu, atau dianggap inferior oleh pihak lain. 

Hingga saat ini konsep kelas masih juga ada yang membenarkannya, sekali lagi mungkin karena terlalu lama mengalami indoktrinasi. Walaupun tidak dilakukan secara de jure tetapi minimal diakui secara de facto oleh banyak pihak, terutama bagi kasta yang sedikit di ‘untungkan’.

Everest Hagen, murid sosiolog terkenal Max Weber mengatakan ada dua kepribadian masyarakat modern. Yang pertama adalah kepribadian otoriter yang ditandai sikap anti perubahan dan loyal terhadap tradisi (walapun tradisinya salah) dan kepribadian inovatif (kreatif) yang ditandai dengan sikap kritis terhadap realitas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. 

                                                       (Menteri Pariwisata ayang turut mendapat gelar Wa Ode)
Dan masih kata Everest Hagen, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang orang-orangnya banyak berkepribadian inovatif. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang inovatif tersebut.

Menggugat Sejarah dan Budaya Buton


Banyak orang berbangga diri dan sering kali mengharap pengakuan yang berlebihan ketika mengkaji, mengetahui dan memahami budaya Buton, yang merupakan warisan dari puing kesultanan Buton. Perasaan ‘sombong’ sebagai orang Buton seringkali menghinggapi nalar dan hati masyarakat uton pada umumnya dalam berinteraksi, terlebih sesama orang Buton. Bisa di katakan bahwa, Buton tidak ada duanya.

Kebanggaan seperti itu adalah merupakan semacam ‘psikologi budaya tinggi’ yang hampir dirasakan setiap masyarakat manapun didunia ini yang memiliki atau berasal dari ras atau peradaban yang gemilang pada masalalu. Salah satu yang tertua mungkin sebagai fakta adanya psikologi budaya tinggi ini seperti perasaan berlebihan atas kebanggaan orang-orang yahudi atas bangsa lain di dunia.

Di Buton sendiri perasaan seperti itu juga lestari di tengah-tengah jiwa masyarakat Buton. Karena konon katanya Buton pernah memiliki peradaban yang megah pada masalalu. Peradaban yang memiliki nilai historis dan spritual yang agung nan luhur yang merupakan peninggalan moyang orang Buton pada zaman dahulu.

Salah satu peninggalan budaya yang saat ini banyak di kaji konstitusi kesultanan Buton martabat tujuh. Yang konon ‘penemu’ atau perumus konstitusi murtabat tujuh ini adalah sultan Buton IV yang bernama La elangi dengan gelar Muhammad dayanu ikhsanuddin.
Dikisahkan bahwa La Elangi bermeditasi selama 40 hari /malam dan Allah SWT memberinya petunjuk menjabarkan pobinci-binciki kuli melalui sifat 20 dan martabat tujuh. Dan hasil ijtihadnya itulah yang di ajarkan kepada seluruh rakyat, yang di kenal martabat tujuh sara wolio, sebagaimana di kutip oleh L.A. Muchir yang juga mengutip kitab Al Miriat Al tamam karya Haji Abdul Ganiyu atau biasa di kenal dengan nama Kenepulu bula.

Pertama yang menarik perhatian kita adalah pernyataan L.A. Muchir yang mengatakan bahwa Martabat tujuh kemudian di ajarkan kepada seluruh rakyat, dalam bukunya yang berjudul Murtabat tujuh halaman 243. Apakah benar bahwa seperti demikian ?. karena sampai saat ini yang menguasai martabat tujuh hanya segelintir orang itupun khusus untuk para pemangku jabatan di kesultanan yang kebanyakan dari golongan Kaomu (bangsawan) dan walaka. Sedangkan untuk mereka yang hidup jauh dari pusat pemerintahan dalam hal ini keraton wolio sangat jarang memahami martabat tujuh tersebut. Beberapa referensi mengatakan ini adalah merupakan sebuah taktik untuk mempertahankan ketergantungan kadie (kampung/desa) terhadap pusat kesultanan. Sebagaimana mengutip Prof Pim JW Schoorl (2012); para guru dari pusat membawa gagasan baru ke desa-desa dan menyebarkan pengetahuan itu secara terbatas lewat bermaca-macam cara. Tujuanya adalah mencegah kadie membentuk barisan melawan pusat. Meminjam istilah Antonio Gramsci bahwa pusat melakukan hegemoni terhadap kadie-kadei tersebut guna kepentingan kekuasaan.

Yusran darmawan (2012) dalam menjelaskan adopsi nilai-nilai modernisasi (life style) masyarakat buton pada saat bersentuhan dengan Belanda, juga sangat menyayangkan mengapa adopsi nilai-nilai modernisasi hanya sebatas life style (gaya hidup) dan tidak ada pada ranah intelektualitas. Sehingga tidak ada prestasi ilmiah di bidang sains hanya sebatas dibidang agama dan tradisi sufistik. Mungkin hal ini oleh tradisi keilmuan yang bercorak sufistik dan metode ‘pendidikan’ dilingkup kesultanan yang bersifat diskriminatif.

Sutan takdir alisyabana sebagaimana  dikutip oleh Nurcholis madjid, dalam membandingkan kemajuan peradaban barat dan islam, menyatakan dikala terjadi perseteruan pemikiran antara Ibnu Rusyd  yang bercorak rasional dan Al Ghazali yang bercorak sufistik, di barat kemudian mengadopsi  atau lebih berkembang pemikiran ibnu Rusyd yang kemudian populer dengan nama Averroes. Sedangkan di daerah islam sendiri lebih dominan pemikiran Al Ghazali yang sufistik. Sehingga masyarakat islam lebih condong hidup zuhud daripada menyukai tantangan intelektual yang ilmiah.

Di daerah Buton sendiri sebagaimana maklum tradisi sufistik atau ilmu tassawuf menjadi ajaran islam yang dominan bahkan sampai saat ini. Dan tassawuf yang berkembang pun adalah tradisi tassawuf amali bukan tradisi tasawuf teoritis sebagaimana yang berkembang di persia (iran). Sehingga menjadi alasan yang sangat mendukung untuk terkuburnya tradisi ilmiah sains.

Di samping itu metode pengajaran dilingkup kesultanan yang bersifat diskriminatif juga sangat mempengaruhi berkembangnya tradisi sains ilmiah. Karena ‘ilmu’ hanya berputar pada lingkungan terbatas saja. Yang seyogyanya ilmu di lempar kepada masyarakat luas agar dapat dikaji, dikritisi dan dikembangkan. Dan fenomena ini yang menyebabkan mandulnya daya kritis masyarakat dan berdampak pada ‘pembodohan’ yang terorganisir. Yang sadar atau tidak sadar di lakukan oleh pihak penguasa di pusat kesultanan Buton.
Selain itu, kembali kepada Martabat tujuh, tadi disebutkan bahwa penemu ajaran itu adalah Sultan La elangi. Yang melalui meditasi selama 40 hari/malam. Namun dalam beberapa referensi lain menyatakan bahwa ajaran martabat tujuh pertama kali terdapat dalam buku Al Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi karya Muhammad Ibn Fadhilah. Dengan kata lain martabat tujuh adalah bukan ajaran autentik yang berasal dari masyarakat Buton sebagaimana yang menjadi pemahaman umum masyarakat Buton hingga saat ini.

Atau bisa jadi wacana ini di kembangkan untuk melanggengkan hegemoni pemikiran yang berlangsung guna tetap mengekalkan penguasaan terhadap rakyat Buton. Yang tentunya dilakukan oleh kaum kaomu atau bangsawan terhadap kelas non bangsawan.

Sebagaimana ungkapan Leon Trotsky (1923) bahwa setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri dan karenanya juga menciptakan seninya sendiri. Begitu pula dengan kelas penguasa yang berada dalam rentang sejarah kesultanan buton pasti ada upaya menkonstruksi budaya, sejarah dan seni mereka sendiri. Sebagaimana dalam masa rezim orde baru, sejarah selalu berpihak pada penguasa, bahkan ada yang menyatakan bahwa sejarah adalah milik penguasa.

Terlebih dalam sejarah kebudayaan buton. Hampir tidak ada sejarah yang di tulis oleh kaum non bangsawan atau terkuasa. Sehingga sampai saat ini kita tidak mendapatkan satu pun catatan sejarah yang berusaha mengkritisi penguasa di kesultanan.

Seandainya tidak ada orang semacam, Jan pieterszoon Coen (1587-1629) atau Schoorl kita tidak akan pernah tahu bahwa di negeri seribu benteng ini pernah terjadi perbudakan dan penjualan budak terorganisir, bahkan coen mengatakan bahwa budak di pasarkan dengan murah.  Sebagimana di kutip oleh Yusran darmawan.

Sehingga menguliti sejarah budaya Buton yang saat ini terbalut oleh mistis ataupun bahasa puja-puji penguasa juga sangat penting guna mendapatkan gambaran obyektif sejarah kesultanan Buton. Agar kita dapat meningkatkan pemahaman kita atas sejarah yang sesungguhnya dan dapat melahirkan daya kritis dalam masyarakat Buton. Agar masyarakat Buton dapat menulis sejarahnya sesuai dengan irama ilmiah yang saat ini mengusai ilmu pengetahuan modern.