Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Senin, 07 Juli 2014

La Ode dan Wa Ode, apakah masih relevan ?



(Daftar Nama Sultan Buton di benteng keraton Buton)

Hingga saat ini banyak orang buton mungkin belum bisa memahami dengan baik dari mana sesungguhnya gelar La Ode dan Wa Ode itu berasal, sekalipun dia keturunan La Ode dan Wa Ode itu sendiri.  Hal ini wajar, karena memang sejarah dan budaya Buton itu hingga kini masih banyak yang sengaja disembunyikan, dan hanya kalangan tertentu yang dianggap ‘pantas’ untuk mengetahuinya. Entah dari mana datangnya paradigma sempit seperti itu yang pasti itulah realita yang terjadi.
 
Tetapi disini kita tidak akan membincangkan sejarah dan makna asli dari gelar La ode dan Wa Ode itu, karena memang hingga saat belum ada referensi yang pasti tentang hal tersebut, selain cerita pinggiran yang belum pasti kebenaranya.

Akan tetapi hal yang pasti adalah, pelekatan gelar La Ode dan Wa Ode bagi orang Buton memberikan status sosial tersendiri, terutama dalam hal derajatnya dihadapan adat-istiadat Buton.

La Ode dan Wa Ode adalah satu gelar yang dilekatkan bagi keturunan bangsawan pada masa kesultanan Buton. Ada tiga asal untuk kaum bangsawan Buton atau dalam bahasa Buton disebut kaomu. Yaitu kaomu tanayilandu, tapi-tapi dan kumbewaha. Hanya dari ketiganya inilah yang bisa menjadi sultan Buton pada saat kesultanan dulu. 

Secara umum di kesultanan Buton dahulu membagi masyarakatnya menjadi 4 bagian, yaitu Kaomu, walaka, papara, dan batua (Schoorl, 2012).  Secara hierarki, keempatnya ini memiliki derajat yang berbeda dalam status sosialnya. 

Walaupun banyak yang berapologi bahwa konsep pembagian ‘kelas’ sosial ini tidak berdasarkan derajat (kasta) tetapi berdasarkan pembagian tugas, akan tetapi dalam banyak implementasinya sesungguhnya ini adalah konsep kasta yang terdapat dalam masyarakat Buton.

Pembagian kelas sosial seperti ini tentunya saja melahirkan perbedaan derajat sosial, bahkan kadang dipahami sebagai perbedaan derajat kemanusiaan. Karena dalam implementasinya bagi seorang kaomu (bangsawan) tidak bisa menikah dengan selain sesama kaomu. Dan apabila hal tersebut terjadi, yaitu kaomu, utamanya perempuan kaomu, maka secara otomatis anaknya nanti bukan lagi sebagai kaomu. 

Bukan hanya itu, konsep kelas ini juga berhubungan dengan mahar pada saat pernikahan, bagi seorang kaomu memiliki harga mahar yang lebih tinggi dibanding kasta yang lain. Sekali lagi, entah darimana konsep ini berasal, mengingat hal ini diterapkan dalam adat kesultanan, yang kalau kita melihat sejarah Islam sendiri tidak ada konsep demikian. Seperti dalam pernikahan Imam Ali ra dengan putri Rasulullah SAW, yang berlangsung dengan mahar hanya sebuah baju perang.

Jelas ini bukan konsep islam, dan tidak salah kalau konsep kelas sosial yang diterapkan dalam kesultanan Buton ini dikatakan tidak islami, karena membedakan status sosial masyarakatnya berdasarkan keturunan. Karena, tidak ada yang mampu untuk meilih lahir dari keturunan mana dan berarti membedakan manusia yang satu dan lainya.

Dampak sosial dari penerapan konsep kelas ini sendiri yaitu kaomu dan bukan kaomu masih berlangsung hingga saat ini, bahkan pada beberapa daerah masih dipandang rendah oleh manusia lain, padahal arus globalisasi sudah begitu kencang, tetapi belum juga bisa mengikis habis konsep stratifikasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal ini. Hal ini diakibatkan oleh adanya pembentukan paradigma atau indoktrinasi konsep kelas ini dalam waktu yang sangat lama. Sehingga akan sulit untuk ditanggalkan. 
 
Pertanyaan kemudian, apakah penerapan konsep seperti ini wajar-wajar saja atau malah merugikan. Kalau dikatakan wajar tentu salah besar, tetapi kalau dikatakan merugikan mungkin ada benarnya. Lantas siapa yang dirugikan. Yang paling dirugikan dalam penerapan konsep ini adalah pihak-pihak yang bukan dari kasta kaomu tersebut. Dimana, sebagian nilai-nilai kemanusiaan mereka telah dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak tertentu, atau dianggap inferior oleh pihak lain. 

Hingga saat ini konsep kelas masih juga ada yang membenarkannya, sekali lagi mungkin karena terlalu lama mengalami indoktrinasi. Walaupun tidak dilakukan secara de jure tetapi minimal diakui secara de facto oleh banyak pihak, terutama bagi kasta yang sedikit di ‘untungkan’.

Everest Hagen, murid sosiolog terkenal Max Weber mengatakan ada dua kepribadian masyarakat modern. Yang pertama adalah kepribadian otoriter yang ditandai sikap anti perubahan dan loyal terhadap tradisi (walapun tradisinya salah) dan kepribadian inovatif (kreatif) yang ditandai dengan sikap kritis terhadap realitas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. 

                                                       (Menteri Pariwisata ayang turut mendapat gelar Wa Ode)
Dan masih kata Everest Hagen, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang orang-orangnya banyak berkepribadian inovatif. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang inovatif tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar