(Daftar Nama Sultan Buton di benteng keraton Buton)
Hingga saat ini banyak orang buton mungkin belum
bisa memahami dengan baik dari mana sesungguhnya gelar La Ode dan Wa Ode itu
berasal, sekalipun dia keturunan La Ode dan Wa Ode itu sendiri. Hal ini wajar, karena memang sejarah dan budaya Buton
itu hingga kini masih banyak yang sengaja disembunyikan, dan hanya kalangan
tertentu yang dianggap ‘pantas’ untuk mengetahuinya. Entah dari mana datangnya
paradigma sempit seperti itu yang pasti itulah realita yang terjadi.
Tetapi disini kita tidak akan membincangkan sejarah
dan makna asli dari gelar La ode dan Wa Ode itu, karena memang hingga saat
belum ada referensi yang pasti tentang hal tersebut, selain cerita pinggiran
yang belum pasti kebenaranya.
Akan tetapi hal yang pasti adalah, pelekatan gelar
La Ode dan Wa Ode bagi orang Buton memberikan status sosial tersendiri,
terutama dalam hal derajatnya dihadapan adat-istiadat Buton.
La Ode dan Wa Ode adalah satu gelar yang dilekatkan bagi
keturunan bangsawan pada masa kesultanan Buton. Ada tiga asal untuk kaum
bangsawan Buton atau dalam bahasa Buton disebut kaomu. Yaitu kaomu tanayilandu,
tapi-tapi dan kumbewaha. Hanya dari ketiganya inilah yang bisa menjadi sultan Buton
pada saat kesultanan dulu.
Secara umum di kesultanan Buton dahulu membagi
masyarakatnya menjadi 4 bagian, yaitu Kaomu, walaka, papara, dan batua
(Schoorl, 2012). Secara hierarki,
keempatnya ini memiliki derajat yang berbeda dalam status sosialnya.
Walaupun banyak yang berapologi bahwa konsep
pembagian ‘kelas’ sosial ini tidak berdasarkan derajat (kasta) tetapi
berdasarkan pembagian tugas, akan tetapi dalam banyak implementasinya
sesungguhnya ini adalah konsep kasta yang terdapat dalam masyarakat Buton.
Pembagian kelas sosial seperti ini tentunya saja
melahirkan perbedaan derajat sosial, bahkan kadang dipahami sebagai perbedaan
derajat kemanusiaan. Karena dalam implementasinya bagi seorang kaomu
(bangsawan) tidak bisa menikah dengan selain sesama kaomu. Dan apabila hal
tersebut terjadi, yaitu kaomu, utamanya perempuan kaomu, maka secara otomatis
anaknya nanti bukan lagi sebagai kaomu.
Bukan hanya itu, konsep kelas ini juga berhubungan
dengan mahar pada saat pernikahan, bagi seorang kaomu memiliki harga mahar yang
lebih tinggi dibanding kasta yang lain. Sekali lagi, entah darimana konsep ini
berasal, mengingat hal ini diterapkan dalam adat kesultanan, yang kalau kita
melihat sejarah Islam sendiri tidak ada konsep demikian. Seperti dalam
pernikahan Imam Ali ra dengan putri Rasulullah SAW, yang berlangsung dengan
mahar hanya sebuah baju perang.
Jelas ini bukan konsep islam, dan tidak salah kalau konsep
kelas sosial yang diterapkan dalam kesultanan Buton ini dikatakan tidak islami,
karena membedakan status sosial masyarakatnya berdasarkan keturunan. Karena,
tidak ada yang mampu untuk meilih lahir dari keturunan mana dan berarti
membedakan manusia yang satu dan lainya.
Dampak sosial dari penerapan konsep kelas ini
sendiri yaitu kaomu dan bukan kaomu masih berlangsung hingga saat ini, bahkan
pada beberapa daerah masih dipandang rendah oleh manusia lain, padahal arus
globalisasi sudah begitu kencang, tetapi belum juga bisa mengikis habis konsep
stratifikasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal ini. Hal ini diakibatkan oleh adanya pembentukan
paradigma atau indoktrinasi konsep kelas ini dalam waktu yang sangat lama.
Sehingga akan sulit untuk ditanggalkan.
Pertanyaan kemudian, apakah penerapan konsep seperti
ini wajar-wajar saja atau malah merugikan. Kalau dikatakan wajar tentu salah
besar, tetapi kalau dikatakan merugikan mungkin ada benarnya. Lantas siapa yang
dirugikan. Yang paling dirugikan dalam penerapan konsep ini adalah pihak-pihak
yang bukan dari kasta kaomu tersebut. Dimana, sebagian nilai-nilai kemanusiaan
mereka telah dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak tertentu, atau dianggap
inferior oleh pihak lain.
Hingga saat ini konsep kelas masih juga ada yang
membenarkannya, sekali lagi mungkin karena terlalu lama mengalami indoktrinasi.
Walaupun tidak dilakukan secara de jure tetapi minimal diakui secara de facto
oleh banyak pihak, terutama bagi kasta yang sedikit di ‘untungkan’.
Everest Hagen, murid sosiolog terkenal Max Weber
mengatakan ada dua kepribadian masyarakat modern. Yang pertama adalah
kepribadian otoriter yang ditandai sikap anti perubahan dan loyal terhadap
tradisi (walapun tradisinya salah) dan kepribadian inovatif (kreatif) yang
ditandai dengan sikap kritis terhadap realitas dan memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi.
(Menteri Pariwisata ayang turut mendapat gelar Wa Ode)
Dan masih kata Everest Hagen, bahwa bangsa yang maju
adalah bangsa yang orang-orangnya banyak berkepribadian inovatif. Semoga kita
bisa menjadi pribadi yang inovatif tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar