Selama ini, sebagian besar pemahaman umum,
memahami konsep masyarakat Buton sebagai mengandung diskriminasi dan tatanan
yang kurang adil dalam srata sosialnya. Terlebih dihadapan adat istiadat yang
telah menjadi norma sosial masyarakat Buton dalam menjalani interaksi sosial.
Masyarakat buton diklasifikasi dalam empat golongan,
yang pertama golongan kaomu (bangsawan), walaka, papara dan batua (Schoorl,
2012). Oleh Schoorl sendiri dalam menjelaskan hubungan diantara keempat
golongan masyarakat Buton ini mengalami beberapa bias, yang mana pembagian
golongan masyarakat Buton ini cenderung dipahami sebagai konsep strata atau
kasta sebagaimana yang ada pada masyarakat feodal pada umumnya.
Dalam masyarakat Buton sendiri pembagian
golongan masyarakat seperti diatas kadang disejajarkan dengan konsep kelas
dalam masyarakat menurut marxisme. Akibatnya pemahaman sempit seperti ini
menyebabkan ekses sosial yang besar dan menimbulkan bentuk diskriminasi
terhadap sesama masyarakat Buton yang dipandang berbeda golongan.
Awalnya saya pun juga sepakat dengan
pembacaan Schoorl terhadap sejarah dan budaya Buton, terkhusus konsep “kasta”
dalam masyarakat Buton. Dan kadang perasaaan akan adanya kesesuaianya dengan
konsep marxisme membuat saya menggagap budaya Buton sebagai semata-mata produk
determinisme sejarah yang cukup eksploitatif dalam pemahaman Marxisme klasik.
Namun dengan usaha gigih melakukan beberapa pencarian
dan pengkajian terkait wacana ini melalui berbagai pihak akhirnya
perlahan-lahan menyibakan tirai kebenaran. Yaitu secuil pengetahuan akan
sejarah dan budaya yang dapat memenuhi dahaga akan pemahaman sesungguhnya
terkait konsep masyarakat Buton yang sebenarnya.
Paling tidak penjelasan konsep masyarakat
Buton yang seperti akan dipaparkan nanti memiliki kualitas rasional walaupun
sedikit. Hal ini tentu saja lebih baik daripada pemahaman umum selama ini yang
cukup mendominasi masyarakat Buton sendiri, yang memahami konsep ini tak
ubahnya dogma yang harus dijalani tanpa perlu mengetahui sebab-sebabnya. Yang
berujung sekali lagi pada diskriminasi.
Penjelasan ini, berawal dari pertemuan
singkat saya dengan salah satu tokoh masyarakat dan tokoh adat Buton, yaitu
bapak La Ode Alirman, SH. Dimana beliau saat ini menjabat sebagai Lakina
Lapandewa dalam lembaga adat Buton. Sebuah pertemuan yang tanpa disengaja
tetapi menurut saya sangat bermanfaat terutama bagi saya sendiri, dalam
memahami diri saya sebagai masyarakat Buton.
Menurut La Ode Alirman, konsep masyarakat
Buton saat ini telah disalah pahami, dan telah bergeser dari hakikat awalnya
konsep golongan itu dibentuk. Awalnya pembagian kelompok masyarakat Buton
didasari oleh adanya perbedaan kualitas secara intelektual dan spiritual.
Intelektual dimaksud adalah kemampuan untuk bekerja atau
keterampilan-keterampilan tertentu, seperti bekerja, berperang atau memimpin.
Jadi masyarakat Buton awalnya bukan di dogma
bahwa seseorang lahir dan ditakdirkan menjadi seorang kaomu atau papara tetapi
pengklasifikasian itu dilakukan sesuai dengan kualitas serta kemampuan individu
yang dimiliki oleh seseorang. Dan masuknya seseorang dalam golongan tertentu
bukan atas perintah atau aturan tertentu tetapi merupakan hasil penilaian
seseorang terhadap dirinya sendiri. Saya bisa apa ? atau saya punya kualitas
apa ?. hingga seseorang menurut penilaiannya sendiri kemudian memutuskan bahwa
dirinya lebih layak menjadi seorang papara karena hanya memiliki keterampilan
untuk bekerja, atau memilih menjadi walaka karena memiliki kecerdikan dalam
strategi perang, begitu pula dengan kaomu.
Lambat laun, entah karena faktor apa,
pemahaman dasar terkait konsep golongan ini bergeser dari makna asalnya. Yaitu
menjadi semacam konsep kasta dalam masyarakat feodal. Dan bahkan kemudian
muncul istilah batua yang lebih beraroma perbudakan.
Pergeseran makna ini begitu jauh seiring
berjalanya waktu. Lambat laun, konsep ini menjadi hukum besi yang dikukuhkan
sebagai salah satu aturan main pemerintahan. Bisa dilihat dari silsilah raja
atau sultan yang memerintah di kerajaan Buton. Bahwa pemberian gelar La Ode
sebagai tanda gelar kebangsawanaan nanti diadakan pada sultan ke tiga puluh
enam. Yang mana sebelumnya gelar ini tidak terdapat langsung pada nama sultan-sultan
terdahulu.
Artinya telah terjadi pergeseran budaya, dari
budaya yang setara menjadi diksriminatif dan cenderung timpang. Dampak dari
pergeseran ini menjalar hingga ke generasi-generasi setelahnya dan sampai pula
pada generasi kita sekarang.
Gelar La Ode atau kebangsawanaan melekat
kepada siapa saja yang lahir dari rahim turunan para sultan, tak perduli
kualitas individunya, intelektual dan spiritualnya. Gelar ini dengan gampang
ditempelkan dan kadang tak dapat dipertanggung jawabkan oleh pemilikinya
sendiri. Akibatnya bertebaran bangsawan bodoh, miskin ahlak, rendah kualitas
intelektualnya dan beberapa sifat buruk lainya. Tentu tidak semua tetapi juga
tidak sedikit La Ode yang seperti itu.
Karena pelekatan gelar La Ode yang instan
ini, maka dengan sendirinya menjadikan gelar ini semakin murah dan tidak
bernilai ditengah masyarakat atau berujung pada rendahnya penghayatan budaya
serta adat istiadat yang banyak terkandung ahlak mulia didalamnya. Dan dengan
sendirinya perlahan-lahan mengubur keagungan budaya masyarakat Buton yang
banyak memiliki nilai utama dan sangat relevan dalam dunia sekarang yang
semakin gencarnya arus budaya asing yang masuk menyebakan banyak masyarakat
kehilangan jati dirinya.
Bet365 Casino & Promos 2021 - JTM Hub
BalasHapusFull list of Bet365 Casino & Promos · worrione.com Up 바카라 사이트 to £100 in Bet Credits for new worrione customers at bet365. Min deposit £5. Bet Credits available for www.jtmhub.com use upon settlement of febcasino bets to value of