Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Rabu, 30 Juli 2014

Menjernihkan konsep stratafikasi masyarakat Buton



Selama ini, sebagian besar pemahaman umum, memahami konsep masyarakat Buton sebagai mengandung diskriminasi dan tatanan yang kurang adil dalam srata sosialnya. Terlebih dihadapan adat istiadat yang telah menjadi norma sosial masyarakat Buton dalam menjalani interaksi sosial.

Masyarakat buton diklasifikasi dalam empat golongan, yang pertama golongan kaomu (bangsawan), walaka, papara dan batua (Schoorl, 2012). Oleh Schoorl sendiri dalam menjelaskan hubungan diantara keempat golongan masyarakat Buton ini mengalami beberapa bias, yang mana pembagian golongan masyarakat Buton ini cenderung dipahami sebagai konsep strata atau kasta sebagaimana yang ada pada masyarakat feodal pada umumnya.

Dalam masyarakat Buton sendiri pembagian golongan masyarakat seperti diatas kadang disejajarkan dengan konsep kelas dalam masyarakat menurut marxisme. Akibatnya pemahaman sempit seperti ini menyebabkan ekses sosial yang besar dan menimbulkan bentuk diskriminasi terhadap sesama masyarakat Buton yang dipandang berbeda golongan.

Awalnya saya pun juga sepakat dengan pembacaan Schoorl terhadap sejarah dan budaya Buton, terkhusus konsep “kasta” dalam masyarakat Buton. Dan kadang perasaaan akan adanya kesesuaianya dengan konsep marxisme membuat saya menggagap budaya Buton sebagai semata-mata produk determinisme sejarah yang cukup eksploitatif dalam pemahaman Marxisme klasik.

Namun dengan usaha gigih melakukan beberapa pencarian dan pengkajian terkait wacana ini melalui berbagai pihak akhirnya perlahan-lahan menyibakan tirai kebenaran. Yaitu secuil pengetahuan akan sejarah dan budaya yang dapat memenuhi dahaga akan pemahaman sesungguhnya terkait konsep masyarakat Buton yang sebenarnya.

Paling tidak penjelasan konsep masyarakat Buton yang seperti akan dipaparkan nanti memiliki kualitas rasional walaupun sedikit. Hal ini tentu saja lebih baik daripada pemahaman umum selama ini yang cukup mendominasi masyarakat Buton sendiri, yang memahami konsep ini tak ubahnya dogma yang harus dijalani tanpa perlu mengetahui sebab-sebabnya. Yang berujung sekali lagi pada diskriminasi.

Penjelasan ini, berawal dari pertemuan singkat saya dengan salah satu tokoh masyarakat dan tokoh adat Buton, yaitu bapak La Ode Alirman, SH. Dimana beliau saat ini menjabat sebagai Lakina Lapandewa dalam lembaga adat Buton. Sebuah pertemuan yang tanpa disengaja tetapi menurut saya sangat bermanfaat terutama bagi saya sendiri, dalam memahami diri saya sebagai masyarakat Buton.

Menurut La Ode Alirman, konsep masyarakat Buton saat ini telah disalah pahami, dan telah bergeser dari hakikat awalnya konsep golongan itu dibentuk. Awalnya pembagian kelompok masyarakat Buton didasari oleh adanya perbedaan kualitas secara intelektual dan spiritual. Intelektual dimaksud adalah kemampuan untuk bekerja atau keterampilan-keterampilan tertentu, seperti bekerja, berperang atau memimpin.

Jadi masyarakat Buton awalnya bukan di dogma bahwa seseorang lahir dan ditakdirkan menjadi seorang kaomu atau papara tetapi pengklasifikasian itu dilakukan sesuai dengan kualitas serta kemampuan individu yang dimiliki oleh seseorang. Dan masuknya seseorang dalam golongan tertentu bukan atas perintah atau aturan tertentu tetapi merupakan hasil penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Saya bisa apa ? atau saya punya kualitas apa ?. hingga seseorang menurut penilaiannya sendiri kemudian memutuskan bahwa dirinya lebih layak menjadi seorang papara karena hanya memiliki keterampilan untuk bekerja, atau memilih menjadi walaka karena memiliki kecerdikan dalam strategi perang, begitu pula dengan kaomu.

Lambat laun, entah karena faktor apa, pemahaman dasar terkait konsep golongan ini bergeser dari makna asalnya. Yaitu menjadi semacam konsep kasta dalam masyarakat feodal. Dan bahkan kemudian muncul istilah batua yang lebih beraroma perbudakan. 

Pergeseran makna ini begitu jauh seiring berjalanya waktu. Lambat laun, konsep ini menjadi hukum besi yang dikukuhkan sebagai salah satu aturan main pemerintahan. Bisa dilihat dari silsilah raja atau sultan yang memerintah di kerajaan Buton. Bahwa pemberian gelar La Ode sebagai tanda gelar kebangsawanaan nanti diadakan pada sultan ke tiga puluh enam. Yang mana sebelumnya gelar ini tidak terdapat langsung pada nama sultan-sultan terdahulu.

Artinya telah terjadi pergeseran budaya, dari budaya yang setara menjadi diksriminatif dan cenderung timpang. Dampak dari pergeseran ini menjalar hingga ke generasi-generasi setelahnya dan sampai pula pada generasi kita sekarang. 

Gelar La Ode atau kebangsawanaan melekat kepada siapa saja yang lahir dari rahim turunan para sultan, tak perduli kualitas individunya, intelektual dan spiritualnya. Gelar ini dengan gampang ditempelkan dan kadang tak dapat dipertanggung jawabkan oleh pemilikinya sendiri. Akibatnya bertebaran bangsawan bodoh, miskin ahlak, rendah kualitas intelektualnya dan beberapa sifat buruk lainya. Tentu tidak semua tetapi juga tidak sedikit La Ode yang seperti itu. 

Karena pelekatan gelar La Ode yang instan ini, maka dengan sendirinya menjadikan gelar ini semakin murah dan tidak bernilai ditengah masyarakat atau berujung pada rendahnya penghayatan budaya serta adat istiadat yang banyak terkandung ahlak mulia didalamnya. Dan dengan sendirinya perlahan-lahan mengubur keagungan budaya masyarakat Buton yang banyak memiliki nilai utama dan sangat relevan dalam dunia sekarang yang semakin gencarnya arus budaya asing yang masuk menyebakan banyak masyarakat kehilangan jati dirinya.

1 komentar:

  1. Bet365 Casino & Promos 2021 - JTM Hub
    Full list of Bet365 Casino & Promos · worrione.com Up 바카라 사이트 to £100 in Bet Credits for new worrione customers at bet365. Min deposit £5. Bet Credits available for www.jtmhub.com use upon settlement of febcasino bets to value of

    BalasHapus