Berawal dari tragedi 17 april, ketika kemarahan warga Buton selatan (Busel)
memuncak, menanggalkan jauh tonggak-tonggak kesadaran, bergerak dengan suara
amarah, serak dan lantang, berusaha sekuat tenaga merontokan tembok-tembok
tirani yang mengangkang menghadang pemekaran busel , disaat itulah awalnya,
tiga puluh enam warga Busel tertangkap, kerena terlalu kuat meneriakan haknya,
terlalu nekad dengan niat sucinya, lagu sendu pemekaran pun mulai di
dengungkan.
Lagu sendu lahir dari sebuah perjuangan, tumbu-tumbal kebenaran, enam warga
Busel tersisa, meringkuk, melewatkan hari nan fitri, hari kemenangan, disaat
maaf selayaknya menimbun lara, di dalam tembok pengap dan sempit hanya dapat
membuang mata melalui jeruji besi yang mengapit dan sangat membelenggu.
Di luar jeruji sana, para penguasa pandir berdendang ria, seakan menikmati
lagu sendu sebagai terompet kebahagiaan, seakan kupingnya tuli, matanya buta,
hatinya kosong melopong, tak sadar karena akibat kecongkakannya, kesombonganya,
kesewenang-wenangannya, 6 warga Busel ini belum juga menghirup udara bebas dan
menikmati ketupat lebaran diteras rumahnya. Tak sadar juga para penguasa pandir
ini telah memisahkan anak dan ibunya, bapak dan anaknya, suami dan istrinya,
hanya untuk memenuhi godaan dendam yang memenuhi bilik hatinya.
Enam warga Busel masih dalam penjara, akibat keangkuhan penguasa, yang tak
punya rasa keadilan dan iba, dalam hatinya yang justru berlumut dan busuk. Enam
warga Busel itu bukan politisi, apalagi elit, mereka hanya rakyat kecil yang
punya niat baik untuk daerah. Buton selatan tercipta dan tercinta. Mereka bukan
perampok, mereka bukan pembunuh, apalagi disebut penjahat, mereka hanya rakyat
yang sadar akan kebenaran, yang bosan dengan manipulasi, yang berani mengatakan
tidak pada kezaliman.
Lima bulan berlalu, 6 warga Busel belum juga bebas, hanya karena sepotong
kaca yang retak dan pecah, kaca yang pecah karena emosi suci, amarah yang
patut, kaca yang menutup kebenaran yang membiaskan suara rakyat Busel
sesungguhnya.
Penguasa seharusnya sadar, jika kaca tak seberapa, impas sudah dengan
mekarnya Buton selatan, karena kedepan Busel bukan arena rakyat, rakyat
kebanyakan apalagi yang enam orang ini, busel adalah hasil keringat dan amuk
suci rakyat tapi kelak pasti jadi rebutan penguasa dan pejabat.
Penguasa tetap saja penguasa, tanggal 28 juni mereka berpesta di lakarada
(Lapangan sepak bola kecamatan batauga, ibukota Busel), merayakan mekarnya
Busel. Tak terbesit dalam benak mereka, karena tingkahnya yang manipulatif,
enam warga Busel meringkuk didalam Bui. Para penguasa juga tanpa malu mengumbar
tawa padahal rakyat sudah sangat muak menyaksikannya.
Enam warga Busel masih terpenjara, dua kali sudah menjalani sidang, dengan
dakwaan yang sangat berat, 7 tahun maksimal penjara, hanya karena sebuah kaca,
kaca yang menyembunyikan kebenaran, yang menutup kemunafikan. Yang memancarkan aura kezaliman.
Segenap hati menunggu, sebanyak hati warga Busel, hati yang selalu terselip
harap, hati yang basah dengan doa, semoga sang Ilahi mengetuk hati sang Hakim
yang jadi ‘wakilnya’ di persidangan nanti.
Jika putusan tak berkenan, tak mewakili segenggam kebenaran dan keadilan,
lagu sendu akan tetap berkumandang, air mata pasti tertumpa, bukan air mata
penyesalan, karena mata dan hati tak pernah menyesal, berbulan-bulan didalam
Bui, impas dengan mekarnya Busel sebagai gantinya.
Lagu sendu sayup terdengar, keluarga enam warga Busel yang di tahan hanya
bisa menahan tangis dan bara, meratapi nasib sebagai rakyat kecil, karena anak
dan sanaknya menjadi tumbal kebenaran. Tiada lagi tempat untuk mengadu, para
elit sibuk membagi kue kekuasaaan, berpesta pora dengan jabatan, tebar baliho
sana-sini untuk harap menjadi Kanjeng (Bupati) di Buton selatan.
Ketika para pejabat sibuk memenuhi kebutuhan ego, melampiaskan nafsu
serakah kekuasaan, rakyat pun hanya bisa diam menatap, dengan bibir senantiasa
bergetar, mengucap sumpah serapah.
Selama ini mungkin salah dalam menilai, hidup ditanah dengan segudang
keluruhan tak bermakna jika di atasnya tumbuh lebih banyak pohon benalu.
“Bholimo karo sumanamo lipu” falsafah bijak yang kini tak bertempat dan tak
bertuan. Hanya nyangkut di daun telinga dan hati rakyat, menjadi hiasan bahasa
para politisi, mencari simpati, mengharap pundi, pundi-pundi guna berkuasa
lagi, lagi dan lagi.
Lagu sendu pemekaran, semoga berganti tembang kebahagiaan kelak... amien.
Tulisan ini kupersembahkan buat kawan-kawan seperjuangan Busel yang masih
diterjepit tangan serakah penguasa di lapas Baubau.