Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Sabtu, 30 Agustus 2014

Cinta Rasional dan Cinta Empiris




Dewasa ini, seiring menguatnya arus materialisasi kehidupan di segala aspek, telah menjadikan manusia menjadi sangat menghargai dan mengedepankan sisi lahiriah dan meninggalkan sisi rohani yang lebih utama.
Begitu pula halnya dalam urusan cinta. Cinta kini telah terukur oleh bingkai materialisme yang sangat terbatas oleh ruang dan waktu. cinta hanya sebatas nilai lahiriah semata. bukan lagi cinta, yang bukan saja menyejukan mata tapi juga menyejukan jiwa.

Cinta dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu cinta empiris dan cinta rasional. Cinta empiris adalah cinta yang hadir akibat pengaruh-pengaruh keindahan yang berupa keindahan fisik semata. contoh cinta manusia kepada harta atau cinta seseorang kepada seorang wanita atau lelaki yang hanya memandang sisi fisik semata. seperti tampan, cantik, putih, tinggi dan lain-lain.

Sedangkan cinta rasional adalah cinta yang memandang indah pada kecerdasan, kejujuran, kebaikan kepribadian yang luhur, kesalehan, yang tak terikat oleh ukuran-ukuran material. Olehnya itu, karena tak terikat dengan faktor-faktor material, maka tak memiliki batas ruang dan waktu. 

Seseorang yang cenderung kepada cinta empiris maka pasti akan cepat ditemui oleh kebosanan. Salah satu hukum material adalah terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga mencintai hal-hal yang lebih material maka suatu saat keindahanya bisa berkurang atau rusak. Contoh kecantikan pasti akan termakan pula oleh usia hingga menjadi keriput adanya. Jika sudah keriput maka cinta pun akan berkurang. Dan perlahan-lahan menghilang.


Lain halnya dengan cinta rasional. Ia bersifat non material yang tak termakan oleh hukum-hukum material. Kecerdasaan, kesalehan, kejujuran, kebaikan tak akan pernah keriput atau menua. Kepribadian yang luhur akan menjadi lebih muncul ketika usia tambah menua. Sehingga apabila totalitas cinta kita letakan pada cinta rasional maka kita tak akan pernah bosan malah cinta kita semakin tumbuh dan berarti.

Kamis, 21 Agustus 2014

Adakah Bayi Memiliki Pengetahuan ?




Menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini gampang-gampang susah. Dan membutuhkan sedikit argumen filosofis atau dalil-dalil yang menjadi penguat baik secara empiris, rasional maupun melalui rujukan kitab suci Al Quranul karim.

Dalam menjawab pertanyaan ini, para filosof memiliki perbedaan pandangan, terutama filosof muslim seperti Mulla sadra sebagai tokoh filosof muslim puncak menolak pandangan yang mengatakan bahwa bayi yang baru lahir memiliki pengetahuan. Berbeda halnya dengan filosof barat, baik filosof kuno yunani semacam Platon dan filosof barat modern Emmanuel Kant.

Platon meyakini bahwa bayi yang baru dillahirkan memiliki segenap epistemologi atau pengetahuan. Sebagaimana teori epistemologi plato yang membagi alam menjadi dua, alam materi dan alam idea. Alam materi adalah alam berbentuk dan terdiferensiasi, terbatas ruang dan waktu. sedangkan alam idea adalah alam yang tidak berbentuk, substansi murni dan tidak terpredikati oleh ruang atau waktu. menurut plato manusia sebelum lahir ke alam materi sebelumnya telah ada terlebih dahulu dan eksis di alam idea. Di alam ide inilah manusia memiliki pengetahuan yang sempurna, berupa substansi murni, wujud-wujud akal yang tak berbilang dan terbatas. Namun setelah lahir kedua dan masuk di alam materi pengetahuan sempurna oleh manusia tersebut menjadi hilang atau terjadi penglupaan akibat pengaruh dari alam materi yang memiliki sifat terbatas. Ibarat susu yang awalnya murni kemudian dituangkan diatas tanah maka susu tersebut menjadi tercemari dan tidak murni lagi demikian pula halnya pengetahuan manusia menurut plato. Karena terjadi penglupaan pasca keluar dari alam idea dan masuk kealam materi maka jalan untuk mendapatkan pengetahuan itu kembali adalah dengan melakukan pengingatan kembali. Untuk mendukung kebenaran teori epistemologi Platon ini beberapa pihak memberikan contoh persitiwa de javu.

Dari penjelasan singkat diatas dapat di pahami bahwa menurut platon manusia pada saat dilahirkan atau sebelum dilahirkan telah memiliki sejumlah pengetahuan. Bahkan diakui sebagai pengetahuan yang sempurna. Olehnya itu plato dalam teori epistemologinya mendukung proposisi bahwa bayi yang baru dilahirkan telah memiliki sejumlah pengetahuan.

Demikian pula halnya dengan Emanuel Kant (1724-1804). Kant dalam teori epistemologinya menjelaskan secara umum bahwa manusia memiliki dua pengetahuan yaitu pengetahuan yang bersifat apriori dan aposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang sejak semula telah ada dalam diri manusia, seperti dua belas kategori yang rumit dalam teori epistemologi Kant. Dan untuk memperolehnya tidak membutuhkan usaha, seperti pengindraan. Sedangkan pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang di peroleh manusia setelah melakukan proses atau usaha yaitu melalui pengindraan. Sehingga kant memiliki pandangan yang juga membenarkan akan adanya pengetahuan sebelum atau awal manusia dilahirkan. Dimana manusia sejak lahir telah membawa pengetahuan tertentu.

Di pihak lain para filosof muslim. Seperti dijelaskan oleh Murtadha Muthahari dalam buku yang berjudul Al Fitrah yang diterbitkan dengan judul yang sama oleh penerbit citra menjelaskan hal ini dengan mengutip sebuah ayat suci Allah SWT

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui suatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al Nahl : 78)

Dalam menjelaskan ayat ini Muthahari mengatakan bahwa semua bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan bersih seperti lembaran kertas putih tanpa ada satu goresan apapun. Tetapi disisi lain, menurut Muthahari, ada juga ayat Al Quran yang mengulang-ulang kata al tadzakur (mengingat). Seperti dalam ayat “maka berilah peringatan sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan (QS. Al Ghasyiyah : 21). Dalam ayat ini Nabi SAW adalah seorang mudzakir (orang yang memberi peringatan) artinya ada sesuatu pengetahuan dalam diri manusia yang tinggal di ingat saja. Untuk mengkompromikan dua ayat yang seakan mengandung kontradiksi ini membutuhkan penjelasan yang sangat filosofis berupa argumen rasional. Disinilah penting filsafat dalam memahami ajaran agama Islam tepatnya memahami Al Quran. tetapi jangan di salah pahami bahwa tanpa filsafat akan sulit memahami dan menjelaskan ayat-ayat Al Quran, tetapi yang menjadi maksud penulis adalah bahwa filsafat juga bermanfaat bagi umat muslim yang ingin menambah pengetahuanya terkait pembacaan (baca:penafsiran) terhadap Al Quran.

Para filosof muslim menjelaskan bahwa manusia secara potensial atau secara fitrahwi memiliki kemampuan untuk menolak pernyataan-pernyataan yang bersifat kontradiksi. Contohnya pernyataan seperti, satu benda berada di dua tempat dalam waktu yang sama, atau sebahagian lebih kecil daripada keseluruhan, atau A berbeda dengan B. Dalam mengkonsepsikan dan membenarkan pernyataan di atas tentu seluruh manusia tidak memerlukan proses usaha untuk berpikir apalagi mengindra. Maksudnya, prinsip non kontradiksi yang digunakan untuk membedah pernyataan di atas di peroleh tanpa pengindraan atau usaha berpikir lainya. Ia (prinsip non kontradiksi) langsung mengaktual dengan sendirinya dalam diri manusia, tanpa berupa usaha-usaha tertentu untuk memunculkanya setelah syaratnya terpenuhi atau adanya realitas yang kontradiksi. 

Prinsip non kontradiksi (di simbolkan A=A) adalah merupakan salah satu prinsip-prinsip berpikir yang bersifat bawaan. Prinsip tersebut asli, tidak berubah dan tidak bisa salah. Sudah tertanam dalam fitrah manusia secara potensial. Namun untuk mengaktual setelah adanya realitas yang tersaji yaitu dua hal yang berbeda. Untuk mengaktual tidak memerlukan usaha-usaha tertentu tetapi akan terjadi dengan sendirinya. Ibarat biji jagung, dalam biji jagung telah terdapat potensi untuk menjadi sebuah tumbuhan jagung, tetapi akan mengaktual setelah adanya rangsangan realitas eksternal berupa pupuk atau sejenisnya. 

Kesimpulan disini adalah bahwa bayi atau manusia yang baru lahir memiliki potensial secara fitrah prinsip-prinsip berpikir itu. Dan akan mengaktual sesuai dengan perkembangan kemampuan inderanya dalam memahami realitas eksternal yang majemuk. Dan untuk mengaktual prinsip-prinsip berpikir ini tidak melalui usaha tertentu.

Selasa, 12 Agustus 2014

Lagu Sendu Pemekaran Busel


Berawal dari tragedi 17 april, ketika kemarahan warga Buton selatan (Busel) memuncak, menanggalkan jauh tonggak-tonggak kesadaran, bergerak dengan suara amarah, serak dan lantang, berusaha sekuat tenaga merontokan tembok-tembok tirani yang mengangkang menghadang pemekaran busel , disaat itulah awalnya, tiga puluh enam warga Busel tertangkap, kerena terlalu kuat meneriakan haknya, terlalu nekad dengan niat sucinya, lagu sendu pemekaran pun mulai di dengungkan.

Lagu sendu lahir dari sebuah perjuangan, tumbu-tumbal kebenaran, enam warga Busel tersisa, meringkuk, melewatkan hari nan fitri, hari kemenangan, disaat maaf selayaknya menimbun lara, di dalam tembok pengap dan sempit hanya dapat membuang mata melalui jeruji besi yang mengapit dan sangat membelenggu.

Di luar jeruji sana, para penguasa pandir berdendang ria, seakan menikmati lagu sendu sebagai terompet kebahagiaan, seakan kupingnya tuli, matanya buta, hatinya kosong melopong, tak sadar karena akibat kecongkakannya, kesombonganya, kesewenang-wenangannya, 6 warga Busel ini belum juga menghirup udara bebas dan menikmati ketupat lebaran diteras rumahnya. Tak sadar juga para penguasa pandir ini telah memisahkan anak dan ibunya, bapak dan anaknya, suami dan istrinya, hanya untuk memenuhi godaan dendam yang memenuhi bilik hatinya.

Enam warga Busel masih dalam penjara, akibat keangkuhan penguasa, yang tak punya rasa keadilan dan iba, dalam hatinya yang justru berlumut dan busuk. Enam warga Busel itu bukan politisi, apalagi elit, mereka hanya rakyat kecil yang punya niat baik untuk daerah. Buton selatan tercipta dan tercinta. Mereka bukan perampok, mereka bukan pembunuh, apalagi disebut penjahat, mereka hanya rakyat yang sadar akan kebenaran, yang bosan dengan manipulasi, yang berani mengatakan tidak pada kezaliman.

Lima bulan berlalu, 6 warga Busel belum juga bebas, hanya karena sepotong kaca yang retak dan pecah, kaca yang pecah karena emosi suci, amarah yang patut, kaca yang menutup kebenaran yang membiaskan suara rakyat Busel sesungguhnya.

Penguasa seharusnya sadar, jika kaca tak seberapa, impas sudah dengan mekarnya Buton selatan, karena kedepan Busel bukan arena rakyat, rakyat kebanyakan apalagi yang enam orang ini, busel adalah hasil keringat dan amuk suci rakyat tapi kelak pasti jadi rebutan penguasa dan pejabat.

Penguasa tetap saja penguasa, tanggal 28 juni mereka berpesta di lakarada (Lapangan sepak bola kecamatan batauga, ibukota Busel), merayakan mekarnya Busel. Tak terbesit dalam benak mereka, karena tingkahnya yang manipulatif, enam warga Busel meringkuk didalam Bui. Para penguasa juga tanpa malu mengumbar tawa padahal rakyat sudah sangat muak menyaksikannya.

Enam warga Busel masih terpenjara, dua kali sudah menjalani sidang, dengan dakwaan yang sangat berat, 7 tahun maksimal penjara, hanya karena sebuah kaca, kaca yang menyembunyikan kebenaran, yang menutup kemunafikan. Yang memancarkan aura kezaliman.

Segenap hati menunggu, sebanyak hati warga Busel, hati yang selalu terselip harap, hati yang basah dengan doa, semoga sang Ilahi mengetuk hati sang Hakim yang jadi ‘wakilnya’ di persidangan nanti.

Jika putusan tak berkenan, tak mewakili segenggam kebenaran dan keadilan, lagu sendu akan tetap berkumandang, air mata pasti tertumpa, bukan air mata penyesalan, karena mata dan hati tak pernah menyesal, berbulan-bulan didalam Bui, impas dengan mekarnya Busel sebagai gantinya.

Lagu sendu sayup terdengar, keluarga enam warga Busel yang di tahan hanya bisa menahan tangis dan bara, meratapi nasib sebagai rakyat kecil, karena anak dan sanaknya menjadi tumbal kebenaran. Tiada lagi tempat untuk mengadu, para elit sibuk membagi kue kekuasaaan, berpesta pora dengan jabatan, tebar baliho sana-sini untuk harap menjadi Kanjeng (Bupati) di Buton selatan.

Ketika para pejabat sibuk memenuhi kebutuhan ego, melampiaskan nafsu serakah kekuasaan, rakyat pun hanya bisa diam menatap, dengan bibir senantiasa bergetar, mengucap sumpah serapah.

Selama ini mungkin salah dalam menilai, hidup ditanah dengan segudang keluruhan tak bermakna jika di atasnya tumbuh lebih banyak pohon benalu. “Bholimo karo sumanamo lipu” falsafah bijak yang kini tak bertempat dan tak bertuan. Hanya nyangkut di daun telinga dan hati rakyat, menjadi hiasan bahasa para politisi, mencari simpati, mengharap pundi, pundi-pundi guna berkuasa lagi, lagi dan lagi.


Lagu sendu pemekaran, semoga berganti tembang kebahagiaan kelak... amien. Tulisan ini kupersembahkan buat kawan-kawan seperjuangan Busel yang masih diterjepit tangan serakah penguasa di lapas Baubau.


Cara 'Ekstrim' Agar Rajin Membaca



Membaca adalah aktifitas yang mencerdaskan. Membaca membuat seseorang memiliki wawasan yang luas dan kreatif. Seluruh pemikir, filsuf, teolog, psikolog, ulama, saintis, fisikawan dan ribuan bahkan jutaan ahli di bidang lain pasti memiliki kebiasaan atau hobbi membaca. Hingga mengantarkan mereka menjadi ahli di bidangnya masing-masing.

Sepintas membaca adalah aktifitas yang gampang dan simpel, cukup raih sebuah buku lalu mulailah membuka halaman demi halaman dan baca. Akan tetapi ternyata tidak sedikit orang yang kesulitan dan bahkan malas ketika berhadapan dengan sebuah buku. Lebih gemar main game atau aktiftas lain yang menghibur. Terkadang seseorang tersebut menginginkan dirinya memiliki hobbi atau kebiasaan rajin membaca, tetapi seakan ada kekuatan tertentu yang menyebabkan keinginan tersebut hanya terbatas sebagai sebuah keinginan dan enggan untuk dilakukan.


Pertanyaanya adalah bagaiman caranya agar kita menjadi orang yang rajin membaca atau memiliki kebiasaan baca ?. menjawab pertanyaan ini gampang-gampang susah. Gampang karena membaca tidak butuh latihan-latihan tertentu. Susah karena seringkali sulit untuk terwujud.

Menjadikan aktifitas membaca sebagai sebuah rutinitas atau kebiasaan adalah hal yang sangat mudah. Kebiasaan pada galibnya selalu di awali oleh paksaan. Untuk pintar dan pandai serta biasa berjalan semasa kanak-kanak kita harus memaksa diri kita atau siappun di sekeliling kita untuk berjalan walau awalnya tertatih-tatih dan kadang jatuh dan terluka. Tetapi karena proses (berjalan) ini terus dilakukan, walaupun secara paksa, maka lama-kelamaan menjadi kebiasaan. Begitu pula membaca.

Membaca tidak akan pernah menjadi kebiasaan apapila kita tidak memaksa diri kita untuk membaca. Walaupun awalnya pada saat membaca buku kadang tidak satupun yang nyangkut dalam ingatan. Tetapi karena dipaksakan dan dilakukan terus menerus, setiap saat, maka lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Bahkan kecanduan seperti halnya orang kecanduan dengan rokok.

Bukan hal mustahil jika suatu saat anda akan kecanduan dengan membaca. Gelisah jika satu hari tidak membaca sebuah buku. Dan ingat, untuk menjadikan aktifitas membaca sebagai sebuah kebiasaan, jangan tebang pilih dalam membaca buku. Buku apa saja yang dimiliki usahakan dibaca sampai tuntas. Dari kata pengantar sampai biografi penulisnya (tidak wajib dilakukan jika sudah menjadi kebiasaan). Tujuannya adalah untuk melahirkan kebiasaan membaca. Tetapi kalau anda memiliki banyak buku untuk di baca, anda bisa memilih buku-buku apa saja yang hendak dibaca. Yang penting tiap hari selalu sempatkan membaca. Usahakan sampai benar-benar capek.

Jika anda telah membaca tiap hari, lama-kelamaan akan terbiasa dan kurang ‘sreeg’ jika tak membaca dalam sehari. Disaat itu pula anda akan kecanduan dengan membaca atau menjadi kutu buku. Kalau slogan saya, “jika orang bisa kecanduan dengan rokok, yang jelas tidak bermanfaat untuk kesehatan mengapa kita tidak bisa kecanduan dengan membaca yang sangat bermanfaat untuk kita”.

Selamat mencoba ...

Senin, 11 Agustus 2014

Merawat Sekularisme di Indonesia




Satu dekade terkhir, umat Islam di berbagai belahan dunia mengalami perpecahan yang tidak semestinya terjadi. Berawal dari perbedaan pandangan mengenai agama atau mazhab menjadikan mereka buas dan saling menerkam terhadap sesamanya maupun sesama umat manusia.


Kita bisa menyaksikan yang terjadi Irak dan Suriah saat ini, sesama islam saling mengkafirkan hingga berujung saling bunuh. Mereka masing-masing kelompok mengklaim paham merekalah yang paling benar, padahal hanya sebatas pahaman yang tentunya bersifat relatif. Menggangap penafsiranya yang benar dan menyalahkan penafsiran pihak lain. 


Tentunya Sebagai umat manusia (mahluk) dengan bahasa manusia dan dengan kemampuan serba terbatas  manusia berusaha untuk menafsirkan bahasa tuhan (firman). Bahasa Tuhan yang berusaha dimaknai dengan ‘sepotong’ akal manusia yang sangat kecil. Yang tak berarti banyak dihadapan Tuhan. Tentu tafsir yang dihasilkan adalah merupakan sebuah refleksi, perspektif tersendiri dari para penafsir, yang memang mencoba untuk menjadi universal, tetapi hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan. Olehnya itu, sekali lagi hasil tafsir tadi tak akan keluar dari segumpal subyektifitas sang penafsir yang berjalin kelindan dengan kondisi obyektif yang menjadi latar belakang sosial yang dialami oleh penafsir. Apalagi ada yang sampai mengklaim diri jika, meminjam istilah Amina Wadud “pembacaan” terhadap firman Tuhan dengan seonggok otaknya yang mungil itu telah menguasai sepenuhnya Ilmu Tuhan yang tak terbatas itu. Sungguh ini adalah pemahaman sempit dan merugikan umat Islam sendiri.


Perbedaan pembacaan firman Tuhan sesama umat Islam sudah menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri. Menjadi kekayaan peradaban Islam. Banyak mazhab, banyak tarekat dan banyak kelompok sudah menjadi realitas historis agama ini. Yang tak bisa dipungkiri tetapi harus dijaga keharmonisanya agar tidak lahir konflik sektarian yang berakibat fatal terhadap eksistensi seluruh umat Islam didunia. 


Ancaman perpecahan Islam di Indonesia


Belakangan dengan bersembunyi dibalik kenikmatan demokrasi di Indonesia, mulai banyak pihak yang mencoba menyemai pemikiran sempit itu. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan mereka berani mengibarkan bendera ISIS, sektarianisme, berani mengatakan berhala terhadap pancasila, seakan pancasila itu ukiran kayu yang terdapat nilai Islami didalamnya. 


Ada upaya dari barisan Islam fundamental dan radikal, atau biasa disebut kelompok garis keras untuk mengimpor ilegal produk pemikiran sempit yang telah meruntuhkan suriah, Irak dan Afganistan ke bangsa Indonesia. Perkembangan kelompok yang suka mengkafirkan orang lain, selanjutnya biasa disebut takfiri, akhir-akhir ini di Indonesia patut untuk diwaspadai. 


Para takfiri begitu masif dalam menyebarkan ideologi sempitnya bahkan sebagian berbau fitnah, hal ini dapat ditemukan pada media online. Dalam situs-situs tersebut banyak mengandung ideologi kebencian berupa pengkafiran pada mazhab-mazhab tertentu yang tidak seirama dengan aliranya, dan dipropagandakan secara sepihak. Olehnya itu pemerintah harus melakukan pengawasan yang serius karena dapat mengancam ketertiban dan berlanjut pada keutuhan negeri ini. Karena pastinya, tiada yang menginginkan bangsa Indonesia yang majemuk dan indah bagai mozaik ini, harus terpecah-belah seperti Suriah, Irak dan negara-negara timur tengah lainya yang tengah diambang kehancuran.


Merawat Sekularisme


Founding father bangsa ini telah menetapkan bangsa Indonesia sebagai Nation-state dan bukan teokrasi atau monarki. Alasanya hingga saat ini bisa kita saksikan yaitu karena bangsa ini plural. Sehingga tepat ketika pancasila menjadi pemersatu kita dan sekaligus mempertegas Indonesia sebagai negara sekuler.


Sekularisme atau pemisahan agama dan negara penting agar warga negara bisa mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan negara. Beberapa waktu yang lalu media dihebohkan dengan berita pelarangan jilbab bagi siswa muslim di Bali. Hal yang sama juga terjadi di aceh dimana siswa non muslim diwajibkan menggunakan jilbab. Ini salah satu contoh kecil terkait upaya memasukan agama dalam ranah sosial yang seharusnya urusan negara. Intervensi agama diwilayah sosial umum menyebabkan kecemburuan dan memantik konflik keagamaan. Barusan masalah jilbab sudah heboh, apalagi qishas atau hukum potong tangan bagi pencuri. Tentu akan melahirkan banyak problema sesudahnya.


Kembali  pada sekularisme, banyak yang menolak konsep sekularisme karena beranggapan bahwa sekularisme memusuhi agama. Mungkin terinspirasi dari sejarah sekularisme di Turki yang memang berkesan demikian.


Tetapi berpegang pada satu contoh yang parsial tersebut lantas menghakimi seluruh konsep sekularisme sebagai haram sebagaimana yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga terlalu berlebihan. Mengutip Budhy Munawar Rahman (2011), yang juga mengutip Djohan Effendi mengatakan tidak ada konsep baku mengenai sekularisme. Sekularisme selalu berevolusi dan menyesuaikan diri dengan realitas sosial yang terjadi. Ada ruang untuk senantiasa memberikan perbaikan dan kritik pada konsep sekularisme, ini terjadi karena ada ruang bagi akal untuk bersuara dan tidak memandang konsep ini statis atau mandek sebagaimana yang dipahami kebanyakan kaum radikal atau para takfiri. 


Ada dua konsep sekularisme mengutip Djohan Effendi, Sekularisme yang kasar terhadap agama dan sekularisme yang halus dan bersahabat baik dengan agama. Untuk yang pertama seperti yang tengah terjadi di Turki atau Tiongkok, sekularisme yang memusuhi agama. Sedang untuk yang kedua bisa kita saksikan di Amerika Serikat dan negara eropa lainya, bahwa sekularisme bersahabat dan memberikan ruang hidup bagi seluruh agama dan kepercayaan.


Dengan tetap merawat sekularisme di Indonesia sama dengan memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. dengan sekularisme tidak ada agama atau mazhab yang di istimewakan oleh negara sebagaimana yang terjadi di Arab saudi. Tetapi semua mazhab, agama dan kepercayaan memiliki hak yang sama dihadapan negara.Dengan demikian, orang akan beragama dan saleh bukan karena takut moncong senjata seperti kini terjadi di Irak, tetapi karena lahir dari nurani dan hati yang ikhlas. 


Pancasia sebagai ideologi bangsa kita yang plural telah terbukti “kesaktianya” hingga kini. Tinggal peran negara dengan berbagai instrumen untuk menjaga eksistensi keberagaman ini. Pancasila juga simbol identitas kita sebagai negara sekuler. Merawat sekulerisme sama dengan merawat pancasila, merawat keragaman dan merawat Indonesia.