Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Senin, 07 Juli 2014

Menggugat Sejarah dan Budaya Buton


Banyak orang berbangga diri dan sering kali mengharap pengakuan yang berlebihan ketika mengkaji, mengetahui dan memahami budaya Buton, yang merupakan warisan dari puing kesultanan Buton. Perasaan ‘sombong’ sebagai orang Buton seringkali menghinggapi nalar dan hati masyarakat uton pada umumnya dalam berinteraksi, terlebih sesama orang Buton. Bisa di katakan bahwa, Buton tidak ada duanya.

Kebanggaan seperti itu adalah merupakan semacam ‘psikologi budaya tinggi’ yang hampir dirasakan setiap masyarakat manapun didunia ini yang memiliki atau berasal dari ras atau peradaban yang gemilang pada masalalu. Salah satu yang tertua mungkin sebagai fakta adanya psikologi budaya tinggi ini seperti perasaan berlebihan atas kebanggaan orang-orang yahudi atas bangsa lain di dunia.

Di Buton sendiri perasaan seperti itu juga lestari di tengah-tengah jiwa masyarakat Buton. Karena konon katanya Buton pernah memiliki peradaban yang megah pada masalalu. Peradaban yang memiliki nilai historis dan spritual yang agung nan luhur yang merupakan peninggalan moyang orang Buton pada zaman dahulu.

Salah satu peninggalan budaya yang saat ini banyak di kaji konstitusi kesultanan Buton martabat tujuh. Yang konon ‘penemu’ atau perumus konstitusi murtabat tujuh ini adalah sultan Buton IV yang bernama La elangi dengan gelar Muhammad dayanu ikhsanuddin.
Dikisahkan bahwa La Elangi bermeditasi selama 40 hari /malam dan Allah SWT memberinya petunjuk menjabarkan pobinci-binciki kuli melalui sifat 20 dan martabat tujuh. Dan hasil ijtihadnya itulah yang di ajarkan kepada seluruh rakyat, yang di kenal martabat tujuh sara wolio, sebagaimana di kutip oleh L.A. Muchir yang juga mengutip kitab Al Miriat Al tamam karya Haji Abdul Ganiyu atau biasa di kenal dengan nama Kenepulu bula.

Pertama yang menarik perhatian kita adalah pernyataan L.A. Muchir yang mengatakan bahwa Martabat tujuh kemudian di ajarkan kepada seluruh rakyat, dalam bukunya yang berjudul Murtabat tujuh halaman 243. Apakah benar bahwa seperti demikian ?. karena sampai saat ini yang menguasai martabat tujuh hanya segelintir orang itupun khusus untuk para pemangku jabatan di kesultanan yang kebanyakan dari golongan Kaomu (bangsawan) dan walaka. Sedangkan untuk mereka yang hidup jauh dari pusat pemerintahan dalam hal ini keraton wolio sangat jarang memahami martabat tujuh tersebut. Beberapa referensi mengatakan ini adalah merupakan sebuah taktik untuk mempertahankan ketergantungan kadie (kampung/desa) terhadap pusat kesultanan. Sebagaimana mengutip Prof Pim JW Schoorl (2012); para guru dari pusat membawa gagasan baru ke desa-desa dan menyebarkan pengetahuan itu secara terbatas lewat bermaca-macam cara. Tujuanya adalah mencegah kadie membentuk barisan melawan pusat. Meminjam istilah Antonio Gramsci bahwa pusat melakukan hegemoni terhadap kadie-kadei tersebut guna kepentingan kekuasaan.

Yusran darmawan (2012) dalam menjelaskan adopsi nilai-nilai modernisasi (life style) masyarakat buton pada saat bersentuhan dengan Belanda, juga sangat menyayangkan mengapa adopsi nilai-nilai modernisasi hanya sebatas life style (gaya hidup) dan tidak ada pada ranah intelektualitas. Sehingga tidak ada prestasi ilmiah di bidang sains hanya sebatas dibidang agama dan tradisi sufistik. Mungkin hal ini oleh tradisi keilmuan yang bercorak sufistik dan metode ‘pendidikan’ dilingkup kesultanan yang bersifat diskriminatif.

Sutan takdir alisyabana sebagaimana  dikutip oleh Nurcholis madjid, dalam membandingkan kemajuan peradaban barat dan islam, menyatakan dikala terjadi perseteruan pemikiran antara Ibnu Rusyd  yang bercorak rasional dan Al Ghazali yang bercorak sufistik, di barat kemudian mengadopsi  atau lebih berkembang pemikiran ibnu Rusyd yang kemudian populer dengan nama Averroes. Sedangkan di daerah islam sendiri lebih dominan pemikiran Al Ghazali yang sufistik. Sehingga masyarakat islam lebih condong hidup zuhud daripada menyukai tantangan intelektual yang ilmiah.

Di daerah Buton sendiri sebagaimana maklum tradisi sufistik atau ilmu tassawuf menjadi ajaran islam yang dominan bahkan sampai saat ini. Dan tassawuf yang berkembang pun adalah tradisi tassawuf amali bukan tradisi tasawuf teoritis sebagaimana yang berkembang di persia (iran). Sehingga menjadi alasan yang sangat mendukung untuk terkuburnya tradisi ilmiah sains.

Di samping itu metode pengajaran dilingkup kesultanan yang bersifat diskriminatif juga sangat mempengaruhi berkembangnya tradisi sains ilmiah. Karena ‘ilmu’ hanya berputar pada lingkungan terbatas saja. Yang seyogyanya ilmu di lempar kepada masyarakat luas agar dapat dikaji, dikritisi dan dikembangkan. Dan fenomena ini yang menyebabkan mandulnya daya kritis masyarakat dan berdampak pada ‘pembodohan’ yang terorganisir. Yang sadar atau tidak sadar di lakukan oleh pihak penguasa di pusat kesultanan Buton.
Selain itu, kembali kepada Martabat tujuh, tadi disebutkan bahwa penemu ajaran itu adalah Sultan La elangi. Yang melalui meditasi selama 40 hari/malam. Namun dalam beberapa referensi lain menyatakan bahwa ajaran martabat tujuh pertama kali terdapat dalam buku Al Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi karya Muhammad Ibn Fadhilah. Dengan kata lain martabat tujuh adalah bukan ajaran autentik yang berasal dari masyarakat Buton sebagaimana yang menjadi pemahaman umum masyarakat Buton hingga saat ini.

Atau bisa jadi wacana ini di kembangkan untuk melanggengkan hegemoni pemikiran yang berlangsung guna tetap mengekalkan penguasaan terhadap rakyat Buton. Yang tentunya dilakukan oleh kaum kaomu atau bangsawan terhadap kelas non bangsawan.

Sebagaimana ungkapan Leon Trotsky (1923) bahwa setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri dan karenanya juga menciptakan seninya sendiri. Begitu pula dengan kelas penguasa yang berada dalam rentang sejarah kesultanan buton pasti ada upaya menkonstruksi budaya, sejarah dan seni mereka sendiri. Sebagaimana dalam masa rezim orde baru, sejarah selalu berpihak pada penguasa, bahkan ada yang menyatakan bahwa sejarah adalah milik penguasa.

Terlebih dalam sejarah kebudayaan buton. Hampir tidak ada sejarah yang di tulis oleh kaum non bangsawan atau terkuasa. Sehingga sampai saat ini kita tidak mendapatkan satu pun catatan sejarah yang berusaha mengkritisi penguasa di kesultanan.

Seandainya tidak ada orang semacam, Jan pieterszoon Coen (1587-1629) atau Schoorl kita tidak akan pernah tahu bahwa di negeri seribu benteng ini pernah terjadi perbudakan dan penjualan budak terorganisir, bahkan coen mengatakan bahwa budak di pasarkan dengan murah.  Sebagimana di kutip oleh Yusran darmawan.

Sehingga menguliti sejarah budaya Buton yang saat ini terbalut oleh mistis ataupun bahasa puja-puji penguasa juga sangat penting guna mendapatkan gambaran obyektif sejarah kesultanan Buton. Agar kita dapat meningkatkan pemahaman kita atas sejarah yang sesungguhnya dan dapat melahirkan daya kritis dalam masyarakat Buton. Agar masyarakat Buton dapat menulis sejarahnya sesuai dengan irama ilmiah yang saat ini mengusai ilmu pengetahuan modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar