Banyak
orang berbangga diri dan sering kali mengharap pengakuan yang berlebihan ketika
mengkaji, mengetahui dan memahami budaya Buton, yang merupakan warisan dari
puing kesultanan Buton. Perasaan ‘sombong’ sebagai orang Buton seringkali
menghinggapi nalar dan hati masyarakat uton pada umumnya dalam berinteraksi,
terlebih sesama orang Buton. Bisa di katakan bahwa, Buton tidak ada duanya.
Kebanggaan
seperti itu adalah merupakan semacam ‘psikologi budaya tinggi’ yang hampir
dirasakan setiap masyarakat manapun didunia ini yang memiliki atau berasal dari
ras atau peradaban yang gemilang pada masalalu. Salah satu yang tertua mungkin
sebagai fakta adanya psikologi budaya tinggi ini seperti perasaan berlebihan
atas kebanggaan orang-orang yahudi atas bangsa lain di dunia.
Di
Buton sendiri perasaan seperti itu juga lestari di tengah-tengah jiwa
masyarakat Buton. Karena konon katanya Buton pernah memiliki peradaban yang
megah pada masalalu. Peradaban yang memiliki nilai historis dan spritual yang
agung nan luhur yang merupakan peninggalan moyang orang Buton pada zaman
dahulu.
Salah
satu peninggalan budaya yang saat ini banyak di kaji konstitusi kesultanan
Buton martabat tujuh. Yang konon ‘penemu’ atau perumus konstitusi murtabat
tujuh ini adalah sultan Buton IV yang bernama La elangi dengan gelar Muhammad
dayanu ikhsanuddin.
Dikisahkan
bahwa La Elangi bermeditasi selama 40 hari /malam dan Allah SWT memberinya
petunjuk menjabarkan pobinci-binciki kuli melalui sifat 20 dan martabat tujuh.
Dan hasil ijtihadnya itulah yang di ajarkan kepada seluruh rakyat, yang di
kenal martabat tujuh sara wolio, sebagaimana di kutip oleh L.A. Muchir yang
juga mengutip kitab Al Miriat Al tamam karya Haji Abdul Ganiyu atau biasa di kenal
dengan nama Kenepulu bula.

Yusran
darmawan (2012) dalam menjelaskan adopsi nilai-nilai modernisasi (life style)
masyarakat buton pada saat bersentuhan dengan Belanda, juga sangat menyayangkan
mengapa adopsi nilai-nilai modernisasi hanya sebatas life style (gaya hidup)
dan tidak ada pada ranah intelektualitas. Sehingga tidak ada prestasi ilmiah di
bidang sains hanya sebatas dibidang agama dan tradisi sufistik. Mungkin hal ini
oleh tradisi keilmuan yang bercorak sufistik dan metode ‘pendidikan’ dilingkup
kesultanan yang bersifat diskriminatif.
Sutan
takdir alisyabana sebagaimana dikutip
oleh Nurcholis madjid, dalam membandingkan kemajuan peradaban barat dan islam,
menyatakan dikala terjadi perseteruan pemikiran antara Ibnu Rusyd yang bercorak rasional dan Al Ghazali yang
bercorak sufistik, di barat kemudian mengadopsi
atau lebih berkembang pemikiran ibnu Rusyd yang kemudian populer dengan
nama Averroes. Sedangkan di daerah islam sendiri lebih dominan pemikiran Al
Ghazali yang sufistik. Sehingga masyarakat islam lebih condong hidup zuhud
daripada menyukai tantangan intelektual yang ilmiah.
Di
daerah Buton sendiri sebagaimana maklum tradisi sufistik atau ilmu tassawuf
menjadi ajaran islam yang dominan bahkan sampai saat ini. Dan tassawuf yang
berkembang pun adalah tradisi tassawuf amali bukan tradisi tasawuf teoritis
sebagaimana yang berkembang di persia (iran). Sehingga menjadi alasan yang
sangat mendukung untuk terkuburnya tradisi ilmiah sains.
Di
samping itu metode pengajaran dilingkup kesultanan yang bersifat diskriminatif
juga sangat mempengaruhi berkembangnya tradisi sains ilmiah. Karena ‘ilmu’
hanya berputar pada lingkungan terbatas saja. Yang seyogyanya ilmu di lempar
kepada masyarakat luas agar dapat dikaji, dikritisi dan dikembangkan. Dan
fenomena ini yang menyebabkan mandulnya daya kritis masyarakat dan berdampak
pada ‘pembodohan’ yang terorganisir. Yang sadar atau tidak sadar di lakukan
oleh pihak penguasa di pusat kesultanan Buton.
Selain
itu, kembali kepada Martabat tujuh, tadi disebutkan bahwa penemu ajaran itu
adalah Sultan La elangi. Yang melalui meditasi selama 40 hari/malam. Namun
dalam beberapa referensi lain menyatakan bahwa ajaran martabat tujuh pertama
kali terdapat dalam buku Al Tuhfah al
Mursalah ila Ruhin-Nabi karya Muhammad Ibn Fadhilah. Dengan kata lain martabat
tujuh adalah bukan ajaran autentik yang berasal dari masyarakat Buton
sebagaimana yang menjadi pemahaman umum masyarakat Buton hingga saat ini.
Atau bisa jadi wacana ini di kembangkan untuk
melanggengkan hegemoni pemikiran yang berlangsung guna tetap mengekalkan
penguasaan terhadap rakyat Buton. Yang tentunya dilakukan oleh kaum kaomu atau
bangsawan terhadap kelas non bangsawan.
Sebagaimana ungkapan Leon Trotsky (1923) bahwa
setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri dan karenanya
juga menciptakan seninya sendiri. Begitu pula dengan kelas penguasa yang berada
dalam rentang sejarah kesultanan buton pasti ada upaya menkonstruksi budaya,
sejarah dan seni mereka sendiri. Sebagaimana dalam masa rezim orde baru,
sejarah selalu berpihak pada penguasa, bahkan ada yang menyatakan bahwa sejarah
adalah milik penguasa.
Terlebih dalam sejarah kebudayaan buton. Hampir
tidak ada sejarah yang di tulis oleh kaum non bangsawan atau terkuasa. Sehingga
sampai saat ini kita tidak mendapatkan satu pun catatan sejarah yang berusaha
mengkritisi penguasa di kesultanan.
Seandainya tidak ada orang semacam, Jan pieterszoon
Coen (1587-1629) atau Schoorl kita tidak akan pernah tahu bahwa di negeri
seribu benteng ini pernah terjadi perbudakan dan penjualan budak terorganisir,
bahkan coen mengatakan bahwa budak di pasarkan dengan murah. Sebagimana di kutip oleh Yusran darmawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar