Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Selasa, 12 Agustus 2014

Lagu Sendu Pemekaran Busel


Berawal dari tragedi 17 april, ketika kemarahan warga Buton selatan (Busel) memuncak, menanggalkan jauh tonggak-tonggak kesadaran, bergerak dengan suara amarah, serak dan lantang, berusaha sekuat tenaga merontokan tembok-tembok tirani yang mengangkang menghadang pemekaran busel , disaat itulah awalnya, tiga puluh enam warga Busel tertangkap, kerena terlalu kuat meneriakan haknya, terlalu nekad dengan niat sucinya, lagu sendu pemekaran pun mulai di dengungkan.

Lagu sendu lahir dari sebuah perjuangan, tumbu-tumbal kebenaran, enam warga Busel tersisa, meringkuk, melewatkan hari nan fitri, hari kemenangan, disaat maaf selayaknya menimbun lara, di dalam tembok pengap dan sempit hanya dapat membuang mata melalui jeruji besi yang mengapit dan sangat membelenggu.

Di luar jeruji sana, para penguasa pandir berdendang ria, seakan menikmati lagu sendu sebagai terompet kebahagiaan, seakan kupingnya tuli, matanya buta, hatinya kosong melopong, tak sadar karena akibat kecongkakannya, kesombonganya, kesewenang-wenangannya, 6 warga Busel ini belum juga menghirup udara bebas dan menikmati ketupat lebaran diteras rumahnya. Tak sadar juga para penguasa pandir ini telah memisahkan anak dan ibunya, bapak dan anaknya, suami dan istrinya, hanya untuk memenuhi godaan dendam yang memenuhi bilik hatinya.

Enam warga Busel masih dalam penjara, akibat keangkuhan penguasa, yang tak punya rasa keadilan dan iba, dalam hatinya yang justru berlumut dan busuk. Enam warga Busel itu bukan politisi, apalagi elit, mereka hanya rakyat kecil yang punya niat baik untuk daerah. Buton selatan tercipta dan tercinta. Mereka bukan perampok, mereka bukan pembunuh, apalagi disebut penjahat, mereka hanya rakyat yang sadar akan kebenaran, yang bosan dengan manipulasi, yang berani mengatakan tidak pada kezaliman.

Lima bulan berlalu, 6 warga Busel belum juga bebas, hanya karena sepotong kaca yang retak dan pecah, kaca yang pecah karena emosi suci, amarah yang patut, kaca yang menutup kebenaran yang membiaskan suara rakyat Busel sesungguhnya.

Penguasa seharusnya sadar, jika kaca tak seberapa, impas sudah dengan mekarnya Buton selatan, karena kedepan Busel bukan arena rakyat, rakyat kebanyakan apalagi yang enam orang ini, busel adalah hasil keringat dan amuk suci rakyat tapi kelak pasti jadi rebutan penguasa dan pejabat.

Penguasa tetap saja penguasa, tanggal 28 juni mereka berpesta di lakarada (Lapangan sepak bola kecamatan batauga, ibukota Busel), merayakan mekarnya Busel. Tak terbesit dalam benak mereka, karena tingkahnya yang manipulatif, enam warga Busel meringkuk didalam Bui. Para penguasa juga tanpa malu mengumbar tawa padahal rakyat sudah sangat muak menyaksikannya.

Enam warga Busel masih terpenjara, dua kali sudah menjalani sidang, dengan dakwaan yang sangat berat, 7 tahun maksimal penjara, hanya karena sebuah kaca, kaca yang menyembunyikan kebenaran, yang menutup kemunafikan. Yang memancarkan aura kezaliman.

Segenap hati menunggu, sebanyak hati warga Busel, hati yang selalu terselip harap, hati yang basah dengan doa, semoga sang Ilahi mengetuk hati sang Hakim yang jadi ‘wakilnya’ di persidangan nanti.

Jika putusan tak berkenan, tak mewakili segenggam kebenaran dan keadilan, lagu sendu akan tetap berkumandang, air mata pasti tertumpa, bukan air mata penyesalan, karena mata dan hati tak pernah menyesal, berbulan-bulan didalam Bui, impas dengan mekarnya Busel sebagai gantinya.

Lagu sendu sayup terdengar, keluarga enam warga Busel yang di tahan hanya bisa menahan tangis dan bara, meratapi nasib sebagai rakyat kecil, karena anak dan sanaknya menjadi tumbal kebenaran. Tiada lagi tempat untuk mengadu, para elit sibuk membagi kue kekuasaaan, berpesta pora dengan jabatan, tebar baliho sana-sini untuk harap menjadi Kanjeng (Bupati) di Buton selatan.

Ketika para pejabat sibuk memenuhi kebutuhan ego, melampiaskan nafsu serakah kekuasaan, rakyat pun hanya bisa diam menatap, dengan bibir senantiasa bergetar, mengucap sumpah serapah.

Selama ini mungkin salah dalam menilai, hidup ditanah dengan segudang keluruhan tak bermakna jika di atasnya tumbuh lebih banyak pohon benalu. “Bholimo karo sumanamo lipu” falsafah bijak yang kini tak bertempat dan tak bertuan. Hanya nyangkut di daun telinga dan hati rakyat, menjadi hiasan bahasa para politisi, mencari simpati, mengharap pundi, pundi-pundi guna berkuasa lagi, lagi dan lagi.


Lagu sendu pemekaran, semoga berganti tembang kebahagiaan kelak... amien. Tulisan ini kupersembahkan buat kawan-kawan seperjuangan Busel yang masih diterjepit tangan serakah penguasa di lapas Baubau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar