Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Kamis, 21 Agustus 2014

Adakah Bayi Memiliki Pengetahuan ?




Menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini gampang-gampang susah. Dan membutuhkan sedikit argumen filosofis atau dalil-dalil yang menjadi penguat baik secara empiris, rasional maupun melalui rujukan kitab suci Al Quranul karim.

Dalam menjawab pertanyaan ini, para filosof memiliki perbedaan pandangan, terutama filosof muslim seperti Mulla sadra sebagai tokoh filosof muslim puncak menolak pandangan yang mengatakan bahwa bayi yang baru lahir memiliki pengetahuan. Berbeda halnya dengan filosof barat, baik filosof kuno yunani semacam Platon dan filosof barat modern Emmanuel Kant.

Platon meyakini bahwa bayi yang baru dillahirkan memiliki segenap epistemologi atau pengetahuan. Sebagaimana teori epistemologi plato yang membagi alam menjadi dua, alam materi dan alam idea. Alam materi adalah alam berbentuk dan terdiferensiasi, terbatas ruang dan waktu. sedangkan alam idea adalah alam yang tidak berbentuk, substansi murni dan tidak terpredikati oleh ruang atau waktu. menurut plato manusia sebelum lahir ke alam materi sebelumnya telah ada terlebih dahulu dan eksis di alam idea. Di alam ide inilah manusia memiliki pengetahuan yang sempurna, berupa substansi murni, wujud-wujud akal yang tak berbilang dan terbatas. Namun setelah lahir kedua dan masuk di alam materi pengetahuan sempurna oleh manusia tersebut menjadi hilang atau terjadi penglupaan akibat pengaruh dari alam materi yang memiliki sifat terbatas. Ibarat susu yang awalnya murni kemudian dituangkan diatas tanah maka susu tersebut menjadi tercemari dan tidak murni lagi demikian pula halnya pengetahuan manusia menurut plato. Karena terjadi penglupaan pasca keluar dari alam idea dan masuk kealam materi maka jalan untuk mendapatkan pengetahuan itu kembali adalah dengan melakukan pengingatan kembali. Untuk mendukung kebenaran teori epistemologi Platon ini beberapa pihak memberikan contoh persitiwa de javu.

Dari penjelasan singkat diatas dapat di pahami bahwa menurut platon manusia pada saat dilahirkan atau sebelum dilahirkan telah memiliki sejumlah pengetahuan. Bahkan diakui sebagai pengetahuan yang sempurna. Olehnya itu plato dalam teori epistemologinya mendukung proposisi bahwa bayi yang baru dilahirkan telah memiliki sejumlah pengetahuan.

Demikian pula halnya dengan Emanuel Kant (1724-1804). Kant dalam teori epistemologinya menjelaskan secara umum bahwa manusia memiliki dua pengetahuan yaitu pengetahuan yang bersifat apriori dan aposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang sejak semula telah ada dalam diri manusia, seperti dua belas kategori yang rumit dalam teori epistemologi Kant. Dan untuk memperolehnya tidak membutuhkan usaha, seperti pengindraan. Sedangkan pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang di peroleh manusia setelah melakukan proses atau usaha yaitu melalui pengindraan. Sehingga kant memiliki pandangan yang juga membenarkan akan adanya pengetahuan sebelum atau awal manusia dilahirkan. Dimana manusia sejak lahir telah membawa pengetahuan tertentu.

Di pihak lain para filosof muslim. Seperti dijelaskan oleh Murtadha Muthahari dalam buku yang berjudul Al Fitrah yang diterbitkan dengan judul yang sama oleh penerbit citra menjelaskan hal ini dengan mengutip sebuah ayat suci Allah SWT

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui suatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al Nahl : 78)

Dalam menjelaskan ayat ini Muthahari mengatakan bahwa semua bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan bersih seperti lembaran kertas putih tanpa ada satu goresan apapun. Tetapi disisi lain, menurut Muthahari, ada juga ayat Al Quran yang mengulang-ulang kata al tadzakur (mengingat). Seperti dalam ayat “maka berilah peringatan sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan (QS. Al Ghasyiyah : 21). Dalam ayat ini Nabi SAW adalah seorang mudzakir (orang yang memberi peringatan) artinya ada sesuatu pengetahuan dalam diri manusia yang tinggal di ingat saja. Untuk mengkompromikan dua ayat yang seakan mengandung kontradiksi ini membutuhkan penjelasan yang sangat filosofis berupa argumen rasional. Disinilah penting filsafat dalam memahami ajaran agama Islam tepatnya memahami Al Quran. tetapi jangan di salah pahami bahwa tanpa filsafat akan sulit memahami dan menjelaskan ayat-ayat Al Quran, tetapi yang menjadi maksud penulis adalah bahwa filsafat juga bermanfaat bagi umat muslim yang ingin menambah pengetahuanya terkait pembacaan (baca:penafsiran) terhadap Al Quran.

Para filosof muslim menjelaskan bahwa manusia secara potensial atau secara fitrahwi memiliki kemampuan untuk menolak pernyataan-pernyataan yang bersifat kontradiksi. Contohnya pernyataan seperti, satu benda berada di dua tempat dalam waktu yang sama, atau sebahagian lebih kecil daripada keseluruhan, atau A berbeda dengan B. Dalam mengkonsepsikan dan membenarkan pernyataan di atas tentu seluruh manusia tidak memerlukan proses usaha untuk berpikir apalagi mengindra. Maksudnya, prinsip non kontradiksi yang digunakan untuk membedah pernyataan di atas di peroleh tanpa pengindraan atau usaha berpikir lainya. Ia (prinsip non kontradiksi) langsung mengaktual dengan sendirinya dalam diri manusia, tanpa berupa usaha-usaha tertentu untuk memunculkanya setelah syaratnya terpenuhi atau adanya realitas yang kontradiksi. 

Prinsip non kontradiksi (di simbolkan A=A) adalah merupakan salah satu prinsip-prinsip berpikir yang bersifat bawaan. Prinsip tersebut asli, tidak berubah dan tidak bisa salah. Sudah tertanam dalam fitrah manusia secara potensial. Namun untuk mengaktual setelah adanya realitas yang tersaji yaitu dua hal yang berbeda. Untuk mengaktual tidak memerlukan usaha-usaha tertentu tetapi akan terjadi dengan sendirinya. Ibarat biji jagung, dalam biji jagung telah terdapat potensi untuk menjadi sebuah tumbuhan jagung, tetapi akan mengaktual setelah adanya rangsangan realitas eksternal berupa pupuk atau sejenisnya. 

Kesimpulan disini adalah bahwa bayi atau manusia yang baru lahir memiliki potensial secara fitrah prinsip-prinsip berpikir itu. Dan akan mengaktual sesuai dengan perkembangan kemampuan inderanya dalam memahami realitas eksternal yang majemuk. Dan untuk mengaktual prinsip-prinsip berpikir ini tidak melalui usaha tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar