Satu
dekade terkhir, umat Islam di berbagai belahan dunia mengalami perpecahan yang
tidak semestinya terjadi. Berawal dari perbedaan pandangan mengenai agama atau
mazhab menjadikan mereka buas dan saling menerkam terhadap sesamanya maupun
sesama umat manusia.
Kita
bisa menyaksikan yang terjadi Irak dan Suriah saat ini, sesama islam saling
mengkafirkan hingga berujung saling bunuh. Mereka masing-masing kelompok
mengklaim paham merekalah yang paling benar, padahal hanya sebatas pahaman yang
tentunya bersifat relatif. Menggangap penafsiranya yang benar dan menyalahkan
penafsiran pihak lain.
Tentunya
Sebagai umat manusia (mahluk) dengan bahasa manusia dan dengan kemampuan serba
terbatas manusia berusaha untuk
menafsirkan bahasa tuhan (firman). Bahasa Tuhan yang berusaha dimaknai dengan ‘sepotong’
akal manusia yang sangat kecil. Yang tak berarti banyak dihadapan Tuhan. Tentu tafsir yang dihasilkan adalah merupakan
sebuah refleksi, perspektif tersendiri dari para penafsir, yang memang mencoba
untuk menjadi universal, tetapi hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan.
Olehnya itu, sekali lagi hasil tafsir tadi tak akan keluar dari segumpal
subyektifitas sang penafsir yang berjalin kelindan dengan kondisi obyektif yang
menjadi latar belakang sosial yang dialami oleh penafsir. Apalagi ada yang sampai
mengklaim diri jika, meminjam istilah Amina Wadud “pembacaan” terhadap firman Tuhan
dengan seonggok otaknya yang mungil itu telah menguasai sepenuhnya Ilmu Tuhan
yang tak terbatas itu. Sungguh ini adalah pemahaman sempit dan merugikan umat Islam
sendiri.
Perbedaan
pembacaan firman Tuhan sesama umat Islam sudah menjadi bagian dari sejarah Islam
itu sendiri. Menjadi kekayaan peradaban Islam. Banyak mazhab, banyak tarekat
dan banyak kelompok sudah menjadi realitas historis agama ini. Yang tak bisa
dipungkiri tetapi harus dijaga keharmonisanya agar tidak lahir konflik
sektarian yang berakibat fatal terhadap eksistensi seluruh umat Islam didunia.
Ancaman perpecahan
Islam di Indonesia
Belakangan
dengan bersembunyi dibalik kenikmatan demokrasi di Indonesia, mulai banyak pihak yang mencoba menyemai
pemikiran sempit itu. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan mereka berani
mengibarkan bendera ISIS, sektarianisme, berani mengatakan berhala terhadap pancasila,
seakan pancasila itu ukiran kayu yang terdapat nilai Islami didalamnya.
Ada
upaya dari barisan Islam fundamental dan radikal, atau biasa disebut kelompok
garis keras untuk mengimpor ilegal produk pemikiran sempit yang telah
meruntuhkan suriah, Irak dan Afganistan ke bangsa Indonesia. Perkembangan kelompok yang suka
mengkafirkan orang lain, selanjutnya biasa disebut takfiri, akhir-akhir ini di Indonesia patut untuk diwaspadai.
Para
takfiri begitu masif dalam menyebarkan ideologi sempitnya bahkan sebagian
berbau fitnah, hal ini dapat ditemukan pada media online. Dalam situs-situs tersebut banyak mengandung ideologi
kebencian berupa pengkafiran pada mazhab-mazhab tertentu yang tidak seirama
dengan aliranya, dan dipropagandakan secara sepihak. Olehnya itu pemerintah
harus melakukan pengawasan yang serius karena dapat mengancam ketertiban dan
berlanjut pada keutuhan negeri ini. Karena pastinya, tiada yang menginginkan
bangsa Indonesia yang majemuk dan indah bagai mozaik ini, harus terpecah-belah
seperti Suriah, Irak dan negara-negara timur tengah lainya yang tengah diambang
kehancuran.
Merawat Sekularisme
Founding
father bangsa ini telah menetapkan bangsa Indonesia sebagai Nation-state dan bukan teokrasi atau
monarki. Alasanya hingga saat ini bisa kita saksikan yaitu karena bangsa ini
plural. Sehingga tepat ketika pancasila menjadi pemersatu kita dan sekaligus
mempertegas Indonesia sebagai negara sekuler.
Sekularisme
atau pemisahan agama dan negara penting agar warga negara bisa mendapatkan
keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan negara. Beberapa waktu yang lalu
media dihebohkan dengan berita pelarangan jilbab bagi siswa muslim di Bali. Hal
yang sama juga terjadi di aceh dimana siswa non muslim diwajibkan menggunakan
jilbab. Ini salah satu contoh kecil terkait upaya memasukan agama dalam ranah
sosial yang seharusnya urusan negara. Intervensi agama diwilayah sosial umum
menyebabkan kecemburuan dan memantik konflik keagamaan. Barusan masalah jilbab
sudah heboh, apalagi qishas atau
hukum potong tangan bagi pencuri. Tentu akan melahirkan banyak problema
sesudahnya.
Kembali
pada sekularisme, banyak yang menolak
konsep sekularisme karena beranggapan bahwa sekularisme memusuhi agama. Mungkin
terinspirasi dari sejarah sekularisme di Turki yang memang berkesan demikian.
Tetapi
berpegang pada satu contoh yang parsial tersebut lantas menghakimi seluruh
konsep sekularisme sebagai haram sebagaimana yang dilakukan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga terlalu berlebihan. Mengutip Budhy Munawar Rahman (2011), yang
juga mengutip Djohan Effendi mengatakan tidak ada konsep baku mengenai
sekularisme. Sekularisme selalu berevolusi dan menyesuaikan diri dengan
realitas sosial yang terjadi. Ada ruang untuk senantiasa memberikan perbaikan
dan kritik pada konsep sekularisme, ini terjadi karena ada ruang bagi akal
untuk bersuara dan tidak memandang konsep ini statis atau mandek sebagaimana
yang dipahami kebanyakan kaum radikal atau para takfiri.
Ada
dua konsep sekularisme mengutip Djohan Effendi, Sekularisme yang kasar terhadap
agama dan sekularisme yang halus dan bersahabat baik dengan agama. Untuk yang
pertama seperti yang tengah terjadi di Turki atau Tiongkok, sekularisme yang
memusuhi agama. Sedang untuk yang kedua bisa kita saksikan di Amerika Serikat
dan negara eropa lainya, bahwa sekularisme bersahabat dan memberikan ruang
hidup bagi seluruh agama dan kepercayaan.
Dengan
tetap merawat sekularisme di Indonesia sama dengan memperjuangkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. dengan sekularisme tidak ada agama atau mazhab yang
di istimewakan oleh negara sebagaimana yang terjadi di Arab saudi. Tetapi semua
mazhab, agama dan kepercayaan memiliki hak yang sama dihadapan negara.Dengan
demikian, orang akan beragama dan saleh bukan karena takut moncong senjata
seperti kini terjadi di Irak, tetapi karena lahir dari nurani dan hati yang
ikhlas.
Pancasia
sebagai ideologi bangsa kita yang plural telah terbukti “kesaktianya” hingga
kini. Tinggal peran negara dengan berbagai instrumen untuk menjaga eksistensi
keberagaman ini. Pancasila juga simbol identitas kita sebagai negara sekuler.
Merawat sekulerisme sama dengan merawat pancasila, merawat keragaman dan
merawat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar