Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Senin, 11 Agustus 2014

Merawat Sekularisme di Indonesia




Satu dekade terkhir, umat Islam di berbagai belahan dunia mengalami perpecahan yang tidak semestinya terjadi. Berawal dari perbedaan pandangan mengenai agama atau mazhab menjadikan mereka buas dan saling menerkam terhadap sesamanya maupun sesama umat manusia.


Kita bisa menyaksikan yang terjadi Irak dan Suriah saat ini, sesama islam saling mengkafirkan hingga berujung saling bunuh. Mereka masing-masing kelompok mengklaim paham merekalah yang paling benar, padahal hanya sebatas pahaman yang tentunya bersifat relatif. Menggangap penafsiranya yang benar dan menyalahkan penafsiran pihak lain. 


Tentunya Sebagai umat manusia (mahluk) dengan bahasa manusia dan dengan kemampuan serba terbatas  manusia berusaha untuk menafsirkan bahasa tuhan (firman). Bahasa Tuhan yang berusaha dimaknai dengan ‘sepotong’ akal manusia yang sangat kecil. Yang tak berarti banyak dihadapan Tuhan. Tentu tafsir yang dihasilkan adalah merupakan sebuah refleksi, perspektif tersendiri dari para penafsir, yang memang mencoba untuk menjadi universal, tetapi hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan. Olehnya itu, sekali lagi hasil tafsir tadi tak akan keluar dari segumpal subyektifitas sang penafsir yang berjalin kelindan dengan kondisi obyektif yang menjadi latar belakang sosial yang dialami oleh penafsir. Apalagi ada yang sampai mengklaim diri jika, meminjam istilah Amina Wadud “pembacaan” terhadap firman Tuhan dengan seonggok otaknya yang mungil itu telah menguasai sepenuhnya Ilmu Tuhan yang tak terbatas itu. Sungguh ini adalah pemahaman sempit dan merugikan umat Islam sendiri.


Perbedaan pembacaan firman Tuhan sesama umat Islam sudah menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri. Menjadi kekayaan peradaban Islam. Banyak mazhab, banyak tarekat dan banyak kelompok sudah menjadi realitas historis agama ini. Yang tak bisa dipungkiri tetapi harus dijaga keharmonisanya agar tidak lahir konflik sektarian yang berakibat fatal terhadap eksistensi seluruh umat Islam didunia. 


Ancaman perpecahan Islam di Indonesia


Belakangan dengan bersembunyi dibalik kenikmatan demokrasi di Indonesia, mulai banyak pihak yang mencoba menyemai pemikiran sempit itu. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan mereka berani mengibarkan bendera ISIS, sektarianisme, berani mengatakan berhala terhadap pancasila, seakan pancasila itu ukiran kayu yang terdapat nilai Islami didalamnya. 


Ada upaya dari barisan Islam fundamental dan radikal, atau biasa disebut kelompok garis keras untuk mengimpor ilegal produk pemikiran sempit yang telah meruntuhkan suriah, Irak dan Afganistan ke bangsa Indonesia. Perkembangan kelompok yang suka mengkafirkan orang lain, selanjutnya biasa disebut takfiri, akhir-akhir ini di Indonesia patut untuk diwaspadai. 


Para takfiri begitu masif dalam menyebarkan ideologi sempitnya bahkan sebagian berbau fitnah, hal ini dapat ditemukan pada media online. Dalam situs-situs tersebut banyak mengandung ideologi kebencian berupa pengkafiran pada mazhab-mazhab tertentu yang tidak seirama dengan aliranya, dan dipropagandakan secara sepihak. Olehnya itu pemerintah harus melakukan pengawasan yang serius karena dapat mengancam ketertiban dan berlanjut pada keutuhan negeri ini. Karena pastinya, tiada yang menginginkan bangsa Indonesia yang majemuk dan indah bagai mozaik ini, harus terpecah-belah seperti Suriah, Irak dan negara-negara timur tengah lainya yang tengah diambang kehancuran.


Merawat Sekularisme


Founding father bangsa ini telah menetapkan bangsa Indonesia sebagai Nation-state dan bukan teokrasi atau monarki. Alasanya hingga saat ini bisa kita saksikan yaitu karena bangsa ini plural. Sehingga tepat ketika pancasila menjadi pemersatu kita dan sekaligus mempertegas Indonesia sebagai negara sekuler.


Sekularisme atau pemisahan agama dan negara penting agar warga negara bisa mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan negara. Beberapa waktu yang lalu media dihebohkan dengan berita pelarangan jilbab bagi siswa muslim di Bali. Hal yang sama juga terjadi di aceh dimana siswa non muslim diwajibkan menggunakan jilbab. Ini salah satu contoh kecil terkait upaya memasukan agama dalam ranah sosial yang seharusnya urusan negara. Intervensi agama diwilayah sosial umum menyebabkan kecemburuan dan memantik konflik keagamaan. Barusan masalah jilbab sudah heboh, apalagi qishas atau hukum potong tangan bagi pencuri. Tentu akan melahirkan banyak problema sesudahnya.


Kembali  pada sekularisme, banyak yang menolak konsep sekularisme karena beranggapan bahwa sekularisme memusuhi agama. Mungkin terinspirasi dari sejarah sekularisme di Turki yang memang berkesan demikian.


Tetapi berpegang pada satu contoh yang parsial tersebut lantas menghakimi seluruh konsep sekularisme sebagai haram sebagaimana yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga terlalu berlebihan. Mengutip Budhy Munawar Rahman (2011), yang juga mengutip Djohan Effendi mengatakan tidak ada konsep baku mengenai sekularisme. Sekularisme selalu berevolusi dan menyesuaikan diri dengan realitas sosial yang terjadi. Ada ruang untuk senantiasa memberikan perbaikan dan kritik pada konsep sekularisme, ini terjadi karena ada ruang bagi akal untuk bersuara dan tidak memandang konsep ini statis atau mandek sebagaimana yang dipahami kebanyakan kaum radikal atau para takfiri. 


Ada dua konsep sekularisme mengutip Djohan Effendi, Sekularisme yang kasar terhadap agama dan sekularisme yang halus dan bersahabat baik dengan agama. Untuk yang pertama seperti yang tengah terjadi di Turki atau Tiongkok, sekularisme yang memusuhi agama. Sedang untuk yang kedua bisa kita saksikan di Amerika Serikat dan negara eropa lainya, bahwa sekularisme bersahabat dan memberikan ruang hidup bagi seluruh agama dan kepercayaan.


Dengan tetap merawat sekularisme di Indonesia sama dengan memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. dengan sekularisme tidak ada agama atau mazhab yang di istimewakan oleh negara sebagaimana yang terjadi di Arab saudi. Tetapi semua mazhab, agama dan kepercayaan memiliki hak yang sama dihadapan negara.Dengan demikian, orang akan beragama dan saleh bukan karena takut moncong senjata seperti kini terjadi di Irak, tetapi karena lahir dari nurani dan hati yang ikhlas. 


Pancasia sebagai ideologi bangsa kita yang plural telah terbukti “kesaktianya” hingga kini. Tinggal peran negara dengan berbagai instrumen untuk menjaga eksistensi keberagaman ini. Pancasila juga simbol identitas kita sebagai negara sekuler. Merawat sekulerisme sama dengan merawat pancasila, merawat keragaman dan merawat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar